saddam

Ummul Kitab Adalah Ibu dari segala aktifitas kita, jadikanlah ummul kitab sebagai permulaan semua aktivitas kita, supaya aktifitasmu terarah oleh-Nya

Kamis, 23 Juni 2011

“Korban Jaman”


Bicara soal sekolah dan kuliah di jaman reformasi ini memang kian runyam. Mulai dari biaya masuk, uang gedung, sumbangan, praktikum, hingga buku kok kian mahal ya? Padahal jargon pemerintah kan untuk tingkat pendidikan dasar sembilan tahun gratis…tis…tis! Adapun untuk tingkat lanjutan, bahkan kuliah di perguruan tinggi ada sistem subsidi silang dan lain sebagainya yang intinya bahwa setiap anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan formal.

Semua kenyamanan dan kemewahan pendidikan tersebut memang hanya teoritis di jagad kahyangan. Bila sudah bicara di tingkat pelaksanaan lapangan, ternyata semua itu hanya retorika belaka! Belum lagi bicara tentang kurikulum, ini anak bangsa sebenarnya mau dididik seperti apa?

Dunia memang telah bergerak menelusuri jalan globalisasi. Segala hal mengarah kepada penyeragaman pola pikir, sikap dan tindakan. Penyeragaman itupun tak tanggung-tanggung diiklankan setiap hari ke rumah dan bilik kita semua. Modernisasi menggiring manusia untuk bersikap praktis dan pragmatis dalam menajalani hidup. Dan ukuran dari itu semua adalah pola hidup konsumerisme dan materialistik, segala hal dinilai sebatas materi. Uang, gelar, pangkat dan jabatan adalah ukuran keberhasilan. Tidak ada lagi standar nilai yang lebih ruhaniah dan transeden.

Terjadinya nihilisasi tata norma dan nilai hidup menjadikan manusia menghalalkan segala cara untuk menggapai indikator manusia modern tersebut di atas. Akibatnya rusaklah tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Yang lebih memprihatikan lagi, hal yang sama juga telah merambah dunia pendidikan kita.

Pendidikan tidak lagi digunakan sebagai metode untuk memanusiakan manusia. Tujuan pendidikan adalah menjadikan siswa atau mahasiswa menjadi pintar. Manusia berbudi, jujur, bertaqwa, dan berakhlak tinggi tidak lagi laku di jaman modern. Maka jangan heran bila siswa kemudian dipaksa untuk menjaladi “romusha” pendidikan. Siswa mati-matian belajar dari pagi hingga petang, bahkan seringkali sampai malam hari.

Kisah ini bukanlah klise semata. Adalah Wiwid, anak Pak Wardi tetangga kami yang duduk di bangku kelas III SMA, tengah menjalani hal tersebut demi menggapai impian masa depan yang cemerlang. Pagi hari ia berangkat sekolah, sore hingga malam jam 21.00 menjalani les privat. Hidup baginya adalah belajar menggeluti buku pelajaran dan mendengarkan ajaran guru atau tentor. Hal ini tak lepas dari arahan sang ayah yang terobsesi anaknya pintar, bertitel, dan kelak dapat menggapai pekerjaan yang layak.

Pak Wardi sendiri adalah seorang karyawan di sebuah pabrik di Kawasan Cilegon Banten. Pengalaman hidupnya memaksa ia tidak dapat mengenyam pendidikan hingga tuntas. Ia hanya selesai sampai STM, maka dari itu ia menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Terlebih ia menyadari tantangan jaman yang semakin keras menghadang. Sampai di sini sebenarnya tidak ada yang salah, bahkan tekad sang ayah yang memprioritaskan pendidikan anaknya patut diacungi jempol. Hanya saja ketika segalanya telah melampaui batas kewajaran alias overdosis, segalanya menjadi patut dipertanyakan.

Demi kelanjutan kuliah Wiwid, Pak Wardi berusaha menggali informasi berbagai pihak mengenai peluang tempat kuliah yang terbaik. Tak segan-segan ia berkenalan dengan dosen dari kampus tertentu, dengan tentor bimbel, ataupun alumni suatu perguruan tinggi. Bahkan pegawai ataupun pejabat tertentu di suatu kantor ditanyainya pula mengenai peluang kerja suatu jurusan studi. Intinya ia ingin mempersiapkan segalanya buat anak tercinta.



Sumber : Korban jaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar