saddam

Ummul Kitab Adalah Ibu dari segala aktifitas kita, jadikanlah ummul kitab sebagai permulaan semua aktivitas kita, supaya aktifitasmu terarah oleh-Nya

Senin, 20 Juni 2011

Guru yang Baik Adalah Murid Sepanjang Masa

Saya bangga bertemu guru-guru karena dua alasan. Pertama, saya bertemu dengan manusia tangguh. Kalau tidak seperti Anda ketangguhannya, bisa rusak 100 kali lipat dunia pendidikan kita. Kedua, elek-elek’o saya ini juga orang pendidikan. Elek-elek’o saya ini juga bisa disebut guru. Tetapi Anda lebih baik dari saya, karena riwayat pendidikan saya tidak jelas. SMA diluluskan secara politis, S1 saya tidak lulus,” begitu Cak Nun mengawali uraiannya di depan para guru peserta pelatihan dalam rangka program CSR Telkom-Republika dengan tajuk Bangun Kecerdasan Bangsa “Bagimu Guru Kupersembahkan”, bertempat di Kantor Telkom Yogyakarta, 22 Juni 2007.

Kesempatan bertemu para guru itu rupanya betul-betul dimanfaatkan Cak Nun untuk membongkar paradigma per-guru-an di Indonesia. Cak Nun menceritakan bahwa dalam hidup ini banyak hal yang tidak logis. “Bagaimana bisa saya yang tidak lulus sekolah diminta ceramah di depan guru-guru. Ini salah satu ketidaklogisan,” ujarnya. Karena banyak yang tak logis, maka Cak Nun mengajak guru-guru untuk tidak terjebak atau hanya bergantung pada pemikiran logis (linear). Ada empat cara berpikir, lanjut Cak Nun, yaitu berpikir linear, zigzag, oval, dan siklikal.

Cara berpikir linear adalah 5+5=10, tidak punya uang stres, ada uang tidak stres. Sementara orang yang berpikir zigzag selalu menemukan bahwa tidak ada yang tidak manfaat. Cara berpikir zigzag yang sudah meningkat membawanya pada kualitas cara berpikir oval, dan pada puncaknya lahirlah pemikiran siklikal. “Jadi, temukan bahwa menjadi guru itu pasti lebih baik.”

Lebih jauh lagi Cak Nun bertanya, “Anda menjadi guru itu karena siapa?” Ada yang menjawab, “Karena diri sendiri.” Spontan Cak Nun mengatakan, “Itulah masalahnya.” Lantas Cak Nun mengibaratkan bahwa jika kita pergi ke Jakarta atas perintah juragan kita untuk menyampaikan titipan kepada seseorang di sana, maka si juragan akan menyiapkan fasilitas dan segala yang dibutuhkan, kalau ada apa-apa dia pula yang bertanggungjawab. Lain jika kita pergi ke sana karena keinginan kita sendiri, semuanya kita tanggung sendiri. “Maka kalau Anda menjadi guru karena diri Anda sendiri, ya Anda yang harus menanggung diri Anda sendiri, tetapi jika Anda menjadi guru karena Allah, Allahlah yang bertanggungjawab pada diri Anda.”

Untuk memantapkan prinsip itu, Cak Nun memberikan contoh nyata. Di Sulawesi ada Waliyullah Imam Lapeo yang membangun Masjid. Begitu Masjid jadi, sang Imam didatangi banyak pedagang Cina yang menagih hutang-hutangnya. Rupanya Masjid Imam Lapeo masih punya hutang. Imam Lapeo meminta mereka untuk menunggu beberapa saat. Sang Imam lantas masuk Masjid dan berdoa, “Ya Allah Rumah-Mu masih punya hutang. Aku yang hanya menempati saja malu, masak Engkau tidak. Bayarlah hutang-Mu.”

Tak lama kemudian, datang serombongan orang bermobil, menemui sang Imam, dan memprotes. “Imam, kenapa Engkau membangun masjid tak bilang-bilang kami. Kami kan juga ingin masuk Surga. Masak Imam ingin masuk surga sendirian.” Lalu, Imam Lapeo berkata, “Ya sudah kalau begitu, temui orang-orang di luar itu dan bayarlah hutang-hutangku.”

“Jadi Anda harus dekat dengan Allah. Ini serius,” tandas Cak Nun. Jika paradigmanya seperti itu, semua jadi lebih ringan. Persoalan gaji guru yang rendah tetap kita pikir, tetapi tidak boleh menguras energi kita 24 jam. Segala masalah yang kita hadapi tidak akan membatalkan kecintaan kita pada profesi guru, karena yang terpenting adalah kandasan cinta pada pekerjaan guru sebagai “pekerjaan Allah”. Jadi, “Anda menjadi guru itu mulia atau tidak bergantung pada hal-hal di luar (sekolah anda unggulan atau tidak, misal), melainkan pada konsep dan keyakinan Anda sendiri,” yegas Cak Nun.

Selain itu, Cak Nun juga mengajak para guru untuk menelusuri kembali akar sejarah kata yang ada dalam dunia pendirikan, “guru itu berasal dari bahasa apa, begitu pula sekolah, siswa, murid, dan lain-lain.” Semua itu ada kaitannya dengan epistemologi pengetahuan kita.” Cak Nun mencontohkan kata ‘murid’ yang berasal dari bahasa Arab. Murid berarti orang yang menghendaki (punya karep), murid berarti subjek. “Jadi, guru yang baik adalah murid sepanjang masa,” simpul Cak Nun. Dengan konsep seperti itu, Cak Nun menjelaskan, semua yang terjadi itu terserah kita, mau kita sikapi bagaimana. Banyak yang mesti dibenahi, termasuk penyikapan kita atas profesi guru. Karena itu pula, Cak Nun mengajak para guru untuk memperkaya diri dengan beragam bahasa bahasa pikir, bahasa hati, dan bahasa-bahasa lainnya, sehingga kalau ada fenomena anak didik yang di luar kebiasaan, maka para guru tidak kehabisan stok untuk memperlakukan anak didiknya itu.

Ketika ditanya salah seorang peserta tentang siapa tokoh yang bisa kita panuti, Cak Nun tegas menjawab, “tidak usah cari tokoh-tokoh, nanti Anda kecelek. Kalau untuk dunia pendidikan, Andalah tokohnya bagi anak-didik anda. Anak-anak juga perlu diperkenalkan para tokoh-tokoh dalam sejarah, tetapi tak perlu mendalam, cukup diperkenalkan saja. Yang penting mereka tahu, dan nanti akan meneruskannya sendiri.Selebihnya, jadilah Anda sebagai tokoh mereka.

Klo jadi jenderal mungkin yang di cari adalah pangkat bintang 3, 4 atau 5.hehe. tapi jika menjadi guru pangkat tertingginya adalah di cintai oleh keluarga, murid-murid, masyarakat kalau dalam bahasa nyelenehnya “pahlawan tanpa tanda jasa”.hehe.
salam sukses buat semua guru Indonesia
Diambil dari : Banyu Bening

1 komentar: