saddam

Ummul Kitab Adalah Ibu dari segala aktifitas kita, jadikanlah ummul kitab sebagai permulaan semua aktivitas kita, supaya aktifitasmu terarah oleh-Nya

Rabu, 20 Juli 2011

ATLANTIS itu Ternyata INDONESIA



Memecahkan Rahasia “Benua yang Hilang"
Atlantis, Benua yang Hilang Akhirnya Ditemukan (Atlantis the Lost Continents Finally Found), demikian judul buku karya Prof Arysio Nunes dos Santos yang dirilis pada bulan Agustus 2005. Dalam buku ini ia menjelaskan Teori tentang Atlantis dengan menggunakan argumen yang sangat luas dan kuat, dari yang bersifat ilmiah ketat, seperti Geologi, Linguistik, dan Antropologi, hingga yang lebih misterius dan gaib (Okultisme, Simbolisme, Mitologi, dll.)

Dos Santos adalah seorang ilmuwan profesional dengan gelar PhD dalam fisika nuklir dan dosen lepas Kimia-Fisik. Penulis ini telah mendedikasikan dirinya dengan sangat intensif untuk mempelajari masalah Atlantis paling tidak selama 30 tahun terakhir hingga kini. Dialah orang pertama yang menghubungkan peristiwa bencana Zaman Es terakhir (11.600 tahun lalu) dengan bencana air bah yang melanda seluruh dunia serta kehancuran Atlantis. Prof Santos berhasil menemukan situs yang sangat memenuhi syarat sebagai lokasi Benua yang Hilang. Ini merupakan temuan situs yang tak tertandingi sebagai situs yang paling logis yang pernah diusulkan, dan yang paling cocok dengan semua fitur yang disebutkan oleh filsuf Yunani Plato, dan juga yang telah disebutkan melalui sumber-sumber yang lain.

Pembaca akan dihadapkan dengan suatu fakta kenyataan berdasar bukti-bukti yang sangat kuat mengenai segala macam hal yang berkaitan dengan keberadaan Atlantis. Dan karena ditulis oleh seorang ilmuwan terkenal yang kompeten, maka cukup untuk mengguncang keyakinan bagi siapa saja, bahkan bagi orang yang paling skeptis sekalipun.


Di mana ditemukannya Atlantis?

Secara tegas dinyatakan oleh Prof Santos melalui bukunya tersebut bahwa, lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11600 tahun yang lalu itu adalah Indonesia.

Selama ini, benua yang diceritakan Plato 2500 tahun yang lalu itu adalah benua yang dihuni oleh bangsa Atlantis yang memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan alamnya yang sangat kaya, yang kemudian hilang tenggelam ke dasar laut oleh bencana banjir dan gempa bumi sebagai hukuman dari para Dewa. Kisah Atlantis ini dibahas dari masa ke masa, dan upaya penelusuran pun terus dilakukan guna menemukan sisa-sisa peradaban tinggi yang telah dicapai oleh bangsa Atlantis itu.

Pencarian dilakukan di samudera Atlantik, Laut Tengah, Karibia, sampai ke Kutub Utara. Pencarian ini sama sekali tidak ada hasilnya, sehingga sebagian orang beranggapan bahwa yang diceritakan Plato itu hanyalah khayalan dari negeri dongeng semata.

Profesor Santos yang juga ahli Fisika Nuklir ini menyatakan bahwa Atlantis tidak pernah ditemukan karena dicari di tempat yang salah.


Lokasi yang benar secara meyakinkan berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan Santos, adalah Indonesia. Profesor Santos mengatakan bahwa dia sudah meneliti kemungkinan lokasi Atlantis selama hampir 30 tahun terakhir.

Ilmu yang digunakan Santos dalam menelusur lokasi Atlantis ini adalah ilmu Geologi, Astronomi, Paleontologi, Archeologi, Linguistik, Ethnologi, dan Komparative Mitologi. Bagi yang ingin mengetahui kualifikasi Santos secara lengkap dapat dilihat di alamat ini: http://atlan.org/author/resume.htm

Buku Santos ini yang diantaranya dipasarkan lewat ‘Amazon.com’ ternyata laris manis. Bahkan konon bukunya ini terlink ke lebih dari 400 buah situs di internet, dan website-nya sendiri menurut Santos hingga kini telah dikunjungi paling kurang sebanyak dua setengah juta pengunjung.

Bila pemerintah RI cukup tanggap dan peka, sebenarnya ini merupakan iklan gratis alias promosi untuk mengenalkan Indonesia secara efektif ke seantero jagat dengan tidak memerlukan dana kampanye serupiah pun.

Sebagaimana dapat diikuti dari website-nya, Plato menulis tentang Atlantis pada masa dimana Yunani masih menjadi pusat kebudayaan Dunia Barat (Western World). Sampai saat ini belum dapat diketahui secara pasti, apakah sang ahli filsafat ini hanya menceritakan sebuah mitos, moral fabel, science fiction, ataukah sebuah kisah sejarah yang sebenarnya. Ataukah pula dia menjelaskan sebuah fakta secara jujur bahwa Atlantis adalah sebuah realitas absolut?


Plato bercerita bahwa Atlantis adalah sebuah negara makmur dengan emas, batuan mulia, dan merupakan ‘mother of all civilazation’ dengan kerajaan berukuran benua yang menguasai pelayaran, perdagangan, ilmu metalurgi, memiliki jaringan irigasi dan transportasi yang baik, serta kehidupan berkesenian, tarian, teater, musik, dan olahraga yang sangat semarak.

Warga Atlantis yang semula merupakan orang-orang terhormat dan kaya, kemudian berubah menjadi ambisius, egois dan hedonis. Para Dewa kemudian menghukum mereka dengan mendatangkan banjir, letusan gunung berapi, dan gempa bumi yang demikian dahsyatnya sehingga menenggelamkan seluruh benua itu hingga ke dasar lautan.

Kisah-kisah sejenis atau mirip kisah Atlantis ini yang berakhir dengan bencana banjir dan gempa bumi, ternyata juga ditemui dalam kisah-kisah sakral tradisional di berbagai bagian dunia, yang umumnya diceritakan dalam bahasa lokal (setempat).


Menurut Santos, ukuran waktu yang diberikan Plato 11600 tahun BP (Before Present), secara tepat bersamaan dengan berakhirnya Zaman Es atau Zaman Pleistocene, yang juga menimbulkan bencana banjir dan gempa yang sangat hebat. Bencana ini menyebabkan punahnya 70% dari spesies mamalia yang hidup saat itu, termasuk kemungkinan juga dua spesies manusia, Neandertal dan Cro-Magnon.

Sebelum terjadinya bencana banjir menyeluruh itu, pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Nusa Tenggara masih menyatu dengan semenanjung Malaysia dan benua Asia.

Posisi Indonesia terletak pada 3 lempeng tektonis yang saling menekan, yang menimbulkan sederetan gunung berapi mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan terus ke Utara sampai ke Filipina yang merupakan bagian dari jalur api ‘Ring of Fire’.

Gunung utama yang disebutkan oleh Santos, yang memegang peranan penting dalam bencana ini adalah gunung Krakatau dan ‘sebuah gunung lain’ (kemungkinan gunung Toba). Sedangkan gunung lain yang disebut-sebut dalam kaitannya dengan kisah-kisah mitologi adalah gunung Semeru, gunung Agung, dan gunung Rinjani.

Bencana alam beruntun ini menurut Santos dimulai dengan ledakan dahsyat gunung Krakatau, yang memusnahkan seluruh gunung itu sendiri, dan membentuk sebuah kaldera besar yang sekarang menjadi selat Sunda yang memisahkan antara pulau Sumatera dan Jawa.

Letusan ini menimbulkan tsunami dengan gelombang laut yang sangat tinggi, yang kemudian menutupi dataran-dataran rendah di antara Sumatera dengan Semenanjung Malaysia, di antara Jawa dan Kalimantan, dan antara Sumatera dan Kalimantan.


Abu hasil letusan gunung Krakatau yang berupa ‘fly-ash’ naik tinggi ke udara dan ditiup angin ke seluruh bagian dunia yang pada masa itu sebagian besar masih ditutup es (Zaman Es Pleistocene) . Abu ini kemudian turun dan menutupi lapisan es. Akibat adanya lapisan abu, es kemudian mencair sebagai akibat panas matahari yang diserap oleh lapisan abu tersebut.

Gletser di kutub Utara dan Eropa kemudian meleleh dan mengalir ke seluruh bagian bumi yang rendah, termasuk Indonesia. Banjir akibat tsunami dan lelehan es inilah yang menyebabkan air laut naik sekitar 130 meter di atas dataran rendah Indonesia. Dataran rendah di Indonesia tenggelam di bawah permukaan laut, dan yang tinggal adalah dataran tinggi dan puncak-puncak gunung berapi.

Tekanan air yang besar ini menimbulkan tarikan dan tekanan yang hebat pada lempeng-lempeng benua, yang selanjutnya menimbulkan letusan-letusan gunung berapi secara beruntun, dan disusul dengan gempa bumi yang dahsyat. Akibatnya adalah berakhirnya Zaman Es Pleistocene secara dramatis.


Dalam bukunya, Plato menyebutkan bahwa Atlantis adalah negara makmur yang bermandi matahari sepanjang waktu. Padahal zaman pada waktu itu adalah Zaman Es, dimana temperatur bumi secara menyeluruh adalah kira-kira 15 derajat Celcius lebih dingin dibanding saat ini. Lokasi yang bermandi sinar matahari pada waktu itu hanyalah Indonesia yang memang terletak di garis khatulistiwa.

Plato juga menyebutkan bahwa luas benua Atlantis yang hilang itu “….lebih besar dari Lybia (Afrika Utara) dan Asia Kecil digabung jadi satu…” Luas ini persis sama dengan luas kawasan Indonesia ditambah dengan luas Laut China Selatan.

Menurut Profesor Santos, para ahli yang umumnya berasal dari Barat, berkeyakinan teguh bahwa peradaban manusia berasal dari dunia mereka. Tapi realitas menunjukkan bahwa Atlantis berada di bawah perairan Indonesia dan bukan di tempat lain.

Santos telah menduga hal ini lebih dari 20 tahun yang lalu sewaktu dia mencermati tradisi-tradisi suci dari Yunani, Roma, Mesir, Mesopotamia, Phoenicia, Indian-Amerika, Hindu, Budha, dan Judeo-Christian. Walaupun dikisahkan dalam bahasa mereka masing-masing, ternyata istilah-istilah yang digunakan banyak yang merujuk ke hal atau kejadian yang sama.

Santos menyimpulkan bahwa penduduk Atlantis terdiri dari beberapa suku/etnis, dimana 2 buah suku terbesar adalah Arya dan Dravida. Semua suku bangsa ini sebelumya berasal dari Afrika 3 juta tahun yang lalu, yang kemudian menyebar ke seluruh Eropa, Asia dan ke Timur sampai ke Australia lebih kurang 1 juta tahun yang lalu. Di Indonesia mereka menemukan kondisi alam yang ideal untuk berkembang, yang menumbuhkan pengetahuan tentang pertanian serta peradaban secara menyeluruh. Ini terjadi pada zaman Pleistocene.


Pada Zaman Es itu, Atlantis adalah surga tropis dengan padang-padang yang indah, gunung, batu-batu mulia, berbagai jenis metal, parfum, sungai, danau, saluran irigasi, pertanian yang sangat produktif, istana emas dengan dinding-dinding perak, gajah, dan bermacam hewan liar lainnya.
Jadi menurut Prof Santos, hanya Indonesia-lah yang sekaya ini.

Ketika bencana yang diceritakan di atas terjadi, dimana air laut naik setinggi kira-kira 130 meter, penduduk Atlantis yang selamat terpaksa keluar dan pindah ke India, Asia Tenggara, China, Polynesia, serta Amerika melalui selat Bering.

Suku Arya yang bermigrasi ke India mula-mula pindah dan menetap di lembah Indus. Karena glatsier Himalaya juga mencair dan menimbulkan banjir di lembah Indus, mereka akhirnya bermigrasi lebih lanjut ke Mesir, Mesopotamia, Palestina, Afrika Utara, dan Asia Utara. Di tempat-tempat baru ini mereka kemudian berupaya mengembangkan kembali budaya Atlantis yang merupakan akar budaya mereka.


Catatan terbaik dari tenggelamnya benua Atlantis ini dicatat di India melalui tradisi-tradisi suci di daerah seperti Lanka, Kumari Kandan, Tripura, dan lain-lain. Mereka adalah pewaris dari budaya yang tenggelam tersebut. Sedang suku Dravida yang berkulit lebih gelap tetap tinggal di Indonesia .

Migrasi besar-besaran ini dapat menjelaskan timbulnya secara tiba-tiba atau seketika teknologi maju seperti pertanian, pengolahan batu mulia, metalurgi, agama, dan diatas semuanya adalah bahasa dan abjad di seluruh dunia selama masa yang disebut Neolithic Revolution. Bahasa-bahasa di seluruh dunia dapat ditelusur berasal dari Sanskerta dan Dravida. Karenanya bahasa-bahasa di dunia sangat maju dipandang dari gramatika dan semantik.

Contohnya adalah abjad. Semua abjad menunjukkan adanya “sidik jari” dari India yang pada masa itu merupakan bagian yang integral dari Indonesia. Dari Indonesialah lahir bibit-bibit peradaban yang kemudian berkembang menjadi budaya lembah Indus, Mesir, Mesopotamia, Hatti, Yunani, Minoan, Crete, Roma, Inka, Maya, Aztek, dan lain-lain.

Budaya-budaya ini mengenal mitos yang sangat mirip. Nama Atlantis diberbagai suku bangsa disebut sebagai Tala, Attala, Patala, Talatala, Thule, Tollan, Aztlan, Tluloc, dan lain-lain.

Itulah ringkasan teori Profesor Santos yang ingin membuktikan bahwa benua Atlantis yang hilang itu sebenarnya berada di Indonesia.

Bukti-bukti yang menguatkan Indonesia sebagai Atlantis, dibandingkan dengan lokasi alternatif lainnya disimpulkan Profesor Santos dalam suatu matriks yang disebutnya sebagai ‘Checklist’ (Silakan lihat di sini: http://atlan.org/articles/checklist/#checklist).


Terlepas dari benar atau tidaknya teori ini, atau dapat dibuktikannya atau tidak kelak keberadaan Atlantis di bawah laut Indonesia, teori Profesor Santos ini hingga sekarang ternyata mampu menarik perhatian orang-orang luar ke Indonesia.

Teori ini juga disusun dengan argumentasi atau hujjah yang cukup jelas dan kuat. Kalau ada yang beranggapan bahwa kualitas bangsa Indonesia sekarang sama sekali “tidak meyakinkan” untuk dapat dikatakan sebagai nenek moyang dari bangsa-bangsa maju yang diturunkannya itu, maka ini adalah suatu proses maju atau mundurnya peradaban yang memakan waktu lebih dari sepuluh ribu tahun.

Contoh kecilnya, adalah perbandingan tentang orang Malaysia dan Indonesia; dimana 30-an tahun yang lalu mereka masih belajar dari kita, tapi sekarang mereka relatif sudah berada beberapa langkah di depan kita.


Allah SWT juga berfirman bahwa nasib manusia ini memang Dia pergilirkan. Yang hidup mulia (berkuasa) pada suatu saat akan menjadi hina (tertindas), dan sebaliknya. “… dan Kami mempergilirkan sejarah yang berlaku di antara manusia ….” (Surat Ali ‘Imran: 140) “Maka setelah datang keputusan Kami, Kami jadikan yang di atas menjadi yang di bawah ….” (Surat Hud: 82). Inilah “Cakra Manggilingan”, atau Roda Kehidupan yang senantiasa berputar.

Profesor Santos masih akan terus melakukan penelitian lapangan lebih lanjut guna lebih banyak lagi mendapatkan bukti atas teorinya. Kemajuan teknologi masa kini seperti satelit yang mampu memetakan dasar lautan, kapal selam mini untuk penelitian (sebagaimana yang digunakan untuk menemukan kapal ‘Titanic’), dan beragam peralatan canggih lainnya diharapkannya akan membantu mencari bukti-bukti pendukung yang kini diduga masih tersembunyi di dasar laut Indonesia.

Apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan bangsa Indonesia? Bagaimana pula para pakar dan ilmuwan Indonesia dari pelbagai disiplin ilmu menanggapi teori yang sebenarnya “mengangkat” Indonesia ke posisi yang sangat terhormat ini? Yakni Indonesia sebagai asal usul peradaban bangsa-bangsa seluruh dunia?

Dan beranikah kita mulai saat ini berpromosi ke seluruh dunia dengan slogan:
Indonesia, Truly Atlantis!
atau
Indonesia, Mother of All Civilazation!

sumber :adibsusilasiraj

Jumat, 08 Juli 2011

Nahdlotul Muhammadiyah

Pada forum Kenduri Cinta di jakarta dan Mocopat Syafaat di jogja syaikh Muhammad Ainun Nadjib menyampaikan rencana akan didirikannya organisasi resmi yang bernama Nahdlotul Muhammadiyah. Kata beliau, motif didirikannya organisasi ini tidak untuk merongrong NU atau merongrong Muhammadiyah. Justru organisasi ini ingin mengisi celah-celah yang masih belum terakomodasi secara memadai baik oleh NU maupun Muhammadiyah. Contohnya, masalah macet di pelabuhan merak itu sebenarnya masalah apa, mungkinkah “direkayasa”, terus, menempatkan fatwa haram merokok yang dikeluarkan oleh MUI itu secara proporsional gimana, terus, masalah NII itu sebenernya gimana, dll. Jadi, mungkin mirip tim investigasi lah, yang bisa jadi akan memproduk semacam press-release sehingga ummat tidak terlalu menjadi bingung dalam atmosfer kehidupan dimana beredar isu-isu tersebut.

Kalau saya, memandang rencana berdirinya organisasi ini, dengan nama yang demikian, adalah relevan. Minimal secara psikologis, filosofis, dan kosmologis.Secara psikologis, telah nyata bahwa sekarang orang dalam bermasyarakat tidak sefanatik dan se-ekstrim dulu. Polarisasi-polarisasi dalam kehidupan sosial, terutama dalam konteks praktek-praktek keagamaan, tidak terasa se”panas” dulu. Ya kalaupun belakangan muncul bermacam-macam aliran yang dikategorikan oleh pemegang otoritas sebagai aliran sesat, saya kira aliran-aliran ini hanya sebagian kecil saja. Artinya tidak cukup representatif dijadikan gambaran umum perilaku masyarakat.


Maksud saya, sang adik boleh saja lebaran duluan karena ikut Muhammadiyah dan sang kakak/ibu baru lebaran besok karena ikut NU. Jadi satu atap bisa terjadi 2 kali lebaran idul fitri dan fine-fine saja. Agaknya masyarakat kita, sejauh yang saya tahu, telah dewasa menyikapi perbedaan-perbedaan ini. Contoh lagi, pas penyelenggaraan sholat tarawih. Mungkin sekarang ada(atau jangan-jangan banyak), orang yang kalau sedang rajin ya ikut sholat tarawih yang 20 roka’at tapi kadang-kadang males atau karena suatu hal, maka memilih sholat tarawih 8 roka’at saja. Bahkan sekarang kita sudah terbiasa melihat dalam satu masjid terjadi dua jenis sholat tarawih, dan fine fine saja.


Yang membuat saya terharu, seorang teman saya yang katanya Muhammadiyah, ketika sholat subuh berdua dengan saya dan ia yang menjadi imam, ia membaca do’a qunut, mungkin karena tahu saya penganut qunut mania. Jelas, sholat subuh waktu itu menjadi lebih berkesan bagi saya, meskipun sholatnya “hanya”di mushola sebuah POM bensin di Brebes. Seketika itu saya berdo’a dalam hati : ya Allah, jadikanlah temanku ini menjadi ketua Muhammadiyah, atau pokoknya pemimpin deh, sehingga semakin banyak tercipta keindahan-keindahan semacam ini dalam hidup. amin ya Allah.


Betapa sekarang orang tidak begitu peduli apakah kamu Muhammadiyah atau NU, malah semakin sadar bahwa sudah saatnya tidak ribut itu, tapi gimana caranya orang-orang islam tetep pada sholat, puasa, zakat,tidak terlalu terseret arus budaya yang tidak islami, bla,bla,bla... indah ya


Kalau secara filosofis, terutama bahasa, saya kira sangat bagus. Sejauh yang saya pernah dengar, kata Nahdloh itu artinya “kebangkitan”, kalau kata Muhammadiyah itu ya berarti para pengikut kanjeng nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam. Jadi, kira-kira Nahdlotul Muhammadiyah akan bisa diartikan : kebangkitan orang-orang pengikut nabi Muhammad, atau, Islamic Revival, kan keren tuh. Dan akan cocok dengan ramalan-ramalan yang beredar,hehe.. apalagi yang meramal bukan peramal/tukang ramal, melainkan orang-orang jenius yang pasti mendapat ilham dari Allah Subhanahu wata’ala.


Secara kosmologis, nyambung juga. Mohon maaf sebenarnya saya juga tidak terlalu paham apa itu kosmologis, maksudnya gimana, dan saya memakai istilah itu biar keren aja,hehe.. sok-sok milsafat lah. Tapi maksud saya intinya begini, secara kronologis atau time-series, sepertinya sudah saatnya berdiri Nahdlotul Muhammadiyah. Kenapa?? Karena sudah sekitar 80an tahun yang lalu (kalau gak salah) telah berdiri Nahdlotul Ulama. Jadi, sudah sejak 80an tahun yang lalu ulama-ulama di Indonesia memutuskan untuk bangkit. Kalau masalah motifnya apa kok sampai mendirikan NU tidak akan saya bahas disini. Pokoknya, kebangkitan ulama-ulama seindonesia, kira-kira filosofi dari nama NU kan begitu ya.


Nah, sekarang giliran ummatnya dong ikutan bangkit...masak cuma ulamanya tok yang bangkit, ummatnya juga harus bangkit dong...hehe...gimana udah nangkep kan maksud saya?


Semoga Nahdhotul Muhammadiyah bukan hanya gabungan dari NU dan Muhammadiyah akan tetapi persatuan ruhaniyah dalam jiwa dan pikiran, demi kemajuan bangsa Indonesia yang sekarang sedang berlatih menghindari jregalan-jregalan nafsu dan keegoisan yang mengurat nadi dalam otak-otak birokrat Indonesia

Sumber : Kenduri Cinta

Rabu, 06 Juli 2011

Dimaafkan, Memaafkan, dan Tidak Memaafkan


Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib

Dimaafkan adalah kelegaan memperoleh rizqi, tapi Memaafkan adalah perjuangan yang sering tidak ringan dan membuat kita penasaran kepada diri sendiri. Tidak Memaafkan adalah suatu situasi psikologis dimana hati kita menggumpal, alias menjadi gumpalan, atau terdapat gumpalan di wilayah ruhani-Nya. Gumpalan itu benda padat, sedangkan gumpalan daging yang kita sebut dengan hati diantara dada dan perut itu bukanlah hati, melainkan indikator fisik dari suatu pengertian ruhani tentang gaib. Jika hati hanyalan gumpalan daging; ia tak bisa dimuati oleh iman atau cinta. Maka gumpalan daging itu sekedar tanda syari’at hati, sedangkan hakikatnya adalah watak ruhani.

Didalam kehidupan manusia, yang biasanya berupa gumpalan dalam hati, misalnya, adalah watak dendam. Dendam bersumber dari mitos tentang harga diri dan kelemahan jiwa. Manusia terlalu ‘GR’ atas dirinya sendiri, dan tidak begitu percaya bahwa ia ‘faqir indallah’: ’musnah dan menguap’ dihadapan Allah.

Kemudian cemburu. Ini watak yang juga mejadi ‘suku cadang’ hakikat cinta dan keindahan. Namun syari’atnya ia harus diletakkan pada konteks yang tepat. Hanya karena punya sepeda, saya tidak lantas jengkel dan cemburu kepada setiap orang yang memiliki mobil. Sambil makan di warung pinggir jalan tak usah kita hardik mereka yang duduk di kursi mengkilap sebuah restoran.

Sangat setuju Cak Nun, seharusnya hati kita selalu bertapa dihadapan Allah Swt. Entah kita mau di puji, dijelek2kan maupun dimusuhi, sesungguhnya hati diciptakan lebih banyak mencintainya daripada membenci..., jadi kalau mendapatkan pujian itulah Allah yang memang patut di puji, dan apabila ada kesalahan dan kekhilafan itulah perbuatan manusia sebagai makhluk-Nya di bumi ini, maka dari itu, sudah semestinya manusia diberikan akal oleh Allah supaya didaya gunakan dalam kehidupannya untuk kepentingan kemaslahatan ummat, bukan untuk pertikaian, permusuhan, maupun kebencian.

Sumber : KC

KUN 'ALIMAN


Kun ‘aliman, au muta’alliman, au mustami’an, au muhibban. Walam takun khomisan, fatahlik. Begitu instruksi Rasulullah. Kalau diterjemahkan secara bebas, kira-kira begini : “dadio wong ‘alim, nek ora yo wong nyantri, nek ora yo ngaji kuping, nek ora yo wong sing seneng karo pengajian”. Ojo dadi sing nomer lima, mengko cilaka. Yang nomer lima itu
gimana? Ya yang tidak termasuk salah satu dari empat yang telah disebut.

Ini kan cermin ya, kita bisa mengukur diri kita masing-masing kira-kira posisi kita dimana. Kalau memakai cara berpikir linear, berarti yang paling tinggi itu jadi orang ‘alim. Orang ‘alim itu siapa? Orang ‘alim adalah orang yang dianugerahi Allah ‘ilmu. ‘ilmu itu apa? ‘ilmu itu cahaya. Lho kok cahaya? Iya, karena ‘ilmu menerangi yang gelap, menjelaskan yang tidak jelas.

Kalau tidak sanggup jadi yang tertinggi, ya nyantri. Belajar sama orang yang sudah ‘alim. Apa-apa yang beliau ajarkan, dicatet. Kalau bisa ngabsahi kitab di pondok pesantren. Kalau ndak sanggup, ya ngaji kuping. Nah perbedaan utama antara santri dan orang yang ngaji kuping, adalah di dokumentasi. Santri mendokumentasikan hasil ngajinya, sedang pengaji kuping hanya mendengar. Ia hanya mengandalkan kemampuan otak untuk mengingat-ingat apa yang diajarkan sang ‘alim. Kalau masih ndak sanggup, yasudah yang penting jangan membenci pengajian, jangan membenci orang mengaji. Cintailah, ikut bersuka-rialah ketika melihat atau mendengar ada pengajian akan digelar. Ikut bergembiralah kalau melihat orang berbondong-bondong berangkat mengaji. Cintailah mereka, meskipun mereka bikin macet jalanan. Kagumilah mereka, yang berangkat mengaji hingga larut malam, sedang kita untuk sholat saja terasa berat. Bersangka baiklah kepada mereka, meski terkadang tingkah mereka menurut anda kurang baik. Pokoknya, cintailah orang yang mengaji, cintailah majelis-majelis ‘ilmu.

Sampai disini saya ingin menawarkan perspektif. Tadi saya bilang itu kalau memakai cara berpikir yang linear. Saya mencoba memakai cara berpikir yang tidak linear. Jadi kalau tadi kan tahap-tahapnya : penggembira -> ikut ngaji kuping -> nyantri -> jadi orang ‘alim. Nah, dalam cara berpikir yang saya maksud, sang orang ‘alim akan kembali menuju posisi sang penggembira/pecinta. Hanya konteksnya lebih mendalam dan meluas.

Logikanya begini, semakin ‘alim seseorang, maka ia akan semakin merasa tidak tahu, sehingga ia justru semakin ingin untuk belajar. Semakin ‘alim atau mengerti, maka orang itu akan semakin berguru pada banyak orang. Ia menjadi santri lagi, ia muta’allim lagi. Selanjutnya, semakin mendalam dan meluas ilmu seseorang, maka ia semakin mau mendengarkan pihak lain. Ia semakin menghargai orang lain. Ia pun menjadi mustami’an lagi. Nah, pada akhirnya, kemudian setelah muta’alliman lagi, mustami’an lagi, ia akan menjadi seorang muhibban, sang pecinta. Ia akan menjadi seorang pecinta sejati. Ia mencintai, menampung semua pihak, sebagaimana cinta para nabi dan rasul terhadap ummatnya.

Kalau mau digambar, saya membayangkan strukturnya berbentuk lingkaran. Jadi titik asal kembali menjadi tujuan. Seseorang tidak akan pernah sampai titik akhir dimana ia merasa selesai. Ia akan terus mengembara dalam struktur ini. Ia tidak akan membiarkan hatinya merasa puas ; wah saya sudah jadi orang ‘alim nih. Dan menjadi relevanlah peribahasa ; padi semakin berisi semakin menunduk, semakin mendekat ke bumi.

Syaikh Muhammad Ainun Nadjib, pernah menawarkan wacana cara berpikir. Menurut beliau, ada cara berpikir linear, zig-zag, spiral, dan siklikal. Saya sendiri belum paham betul apa yang dimaksud zig-zag dan spiral. Saya hanya paling jauh memberanikan diri menduga kira-kira yang saya tuliskan di atas tadi mungkin itu termasuk cara berpikir siklikal. Wallohu a’lam.

Sabtu, 02 Juli 2011

IJTIHAD, ITTIBA’, ATAU TAQLID ?


Orang Indonesia sering mengucapkan kata Bid’ah, Thogut dan lain sebagainya, sekarang yang perlu kita tanyakan pada diri kita sendiri, sudah pahamkah kita mengenai Bid’ah Thogut, dst itu??? Mari belajar bersama-sama supaya kita tidak menyebarkan fitnah-fitnah yang menurut kita sebuah kebenaran. Kali ini akan bahas Ijtihad, Ittiba’, dan Taqlid yang bisa dibandingkan juga dengan Bid’ah.

Orang hidup itu ada dua jalan. Jalan pertama dia mencoba sendiri, menjalani sendiri, memutuskan sendiri, dan menanggung akibatnya sendiri. Jalan ini disebut ijtihad, subjeknya disebut mujtahid (freeman). Kata ini berakar dari kata jihad. Jalan kedua adalah mengikuti orang lain yang kita jadikan panutan. Rasyid Ridha membagi jalan kedua ini menjadi dua bagian, yaitu ittiba’ dan taqlid. Ittiba’ (pelakunya disebut muttabi’) berarti mengikuti sesuatu dengan terlebih dahulu memahami apa yang diikutinya.Taqlid (subjeknya disebut muqallid) adalah mengikuti tanpa memahami apa yang diikutinya itu.

Yang menjadi garis Muhammadiyah adalah Jangan menjadi muqallid.
Dan tentang ijtihad-ittiba’-taqlid, ini bukan hanya tentang urusan shalat tetapi juga tentang urusan negara. Pasal-pasal hukum Indonesia, reformasi, demokrasi, semuanya adalah bentuk taqlid. Maka kita adalah bangsa muqaliddin. Kita sering terbalik dan tertukar-tukar. Di wilayah yang seharusnya merdeka (seperti musik dan kesenian lain) kita justru bersikap taqlid, dan begitu pula sebaliknya.
Negara federal pertama di Nusantara adalah Demak Bintoro. Pada waktu itu terjadi transformasi yang dikawal Sunan Kalijaga dari Majapahit pedalaman menjadi negara federasi dengan tanah-tanah perdikan.

Di dalam Islam ada empat dimensi pemimpin, yaitu :

1. Ra’is (berasal dari kata ra’sun yang berarti kepala) adalah pemimpin yang berada di jajaran paling atas dari suatu struktur.
2. Imam (berasal dari kata ummun : Ibu) adalah bahwa pemimpin adalah dia yang mempunyai daya kasih sayang.
3. Amir (berasal dari kata amr : perintah), pemimpin punya legitimasi untuk memerintah
4. Qa’idh (berasal dari kata qudwah : teladan), pemimpin adalah yang mampu memberikan keteladanan

Dari khasanah Jawa kita mendapatkan tiga dimensi kepemimpinan :

1. Ing ngarsa sung tuladha (memberikan teladan di depan yang dipimpin)
2. Ing madya mangun karsa (to be just someone among others)
3. Tut wuri handayani (di belakang orang-orang yang dipimpinnya, menggembala, angon)
Kita bisa belajar dari Jawa, Bugis, Mandar, dan dari mana saja untuk berijtihad, untuk menciptakan Indonesia yang tidak beta lagi, untuk merilis Indonesia yang sesungguhnya.

Jadi, kesimpulannya, bid’ah itu adalah hal yang baru yang tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah dalam bidang ibadah Mahdhoh (Syahadat,Sholat, Puasa, Zakat, dan Haji) selain itu ya ijtihad manusia sebagai makhluk Tuhan yang diciptakan dengan akal pikiran dari hubungan vertikal horisontal (Facebook, komputer, pesawat, kereta,dan masih banyak yang lainnya...) dan sekali lagi yang tidak berkaitan dengan ibadah Mahdhoh adalah ijtihad manusia.

Kamis, 23 Juni 2011

“Korban Jaman”


Bicara soal sekolah dan kuliah di jaman reformasi ini memang kian runyam. Mulai dari biaya masuk, uang gedung, sumbangan, praktikum, hingga buku kok kian mahal ya? Padahal jargon pemerintah kan untuk tingkat pendidikan dasar sembilan tahun gratis…tis…tis! Adapun untuk tingkat lanjutan, bahkan kuliah di perguruan tinggi ada sistem subsidi silang dan lain sebagainya yang intinya bahwa setiap anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan formal.

Semua kenyamanan dan kemewahan pendidikan tersebut memang hanya teoritis di jagad kahyangan. Bila sudah bicara di tingkat pelaksanaan lapangan, ternyata semua itu hanya retorika belaka! Belum lagi bicara tentang kurikulum, ini anak bangsa sebenarnya mau dididik seperti apa?

Dunia memang telah bergerak menelusuri jalan globalisasi. Segala hal mengarah kepada penyeragaman pola pikir, sikap dan tindakan. Penyeragaman itupun tak tanggung-tanggung diiklankan setiap hari ke rumah dan bilik kita semua. Modernisasi menggiring manusia untuk bersikap praktis dan pragmatis dalam menajalani hidup. Dan ukuran dari itu semua adalah pola hidup konsumerisme dan materialistik, segala hal dinilai sebatas materi. Uang, gelar, pangkat dan jabatan adalah ukuran keberhasilan. Tidak ada lagi standar nilai yang lebih ruhaniah dan transeden.

Terjadinya nihilisasi tata norma dan nilai hidup menjadikan manusia menghalalkan segala cara untuk menggapai indikator manusia modern tersebut di atas. Akibatnya rusaklah tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Yang lebih memprihatikan lagi, hal yang sama juga telah merambah dunia pendidikan kita.

Pendidikan tidak lagi digunakan sebagai metode untuk memanusiakan manusia. Tujuan pendidikan adalah menjadikan siswa atau mahasiswa menjadi pintar. Manusia berbudi, jujur, bertaqwa, dan berakhlak tinggi tidak lagi laku di jaman modern. Maka jangan heran bila siswa kemudian dipaksa untuk menjaladi “romusha” pendidikan. Siswa mati-matian belajar dari pagi hingga petang, bahkan seringkali sampai malam hari.

Kisah ini bukanlah klise semata. Adalah Wiwid, anak Pak Wardi tetangga kami yang duduk di bangku kelas III SMA, tengah menjalani hal tersebut demi menggapai impian masa depan yang cemerlang. Pagi hari ia berangkat sekolah, sore hingga malam jam 21.00 menjalani les privat. Hidup baginya adalah belajar menggeluti buku pelajaran dan mendengarkan ajaran guru atau tentor. Hal ini tak lepas dari arahan sang ayah yang terobsesi anaknya pintar, bertitel, dan kelak dapat menggapai pekerjaan yang layak.

Pak Wardi sendiri adalah seorang karyawan di sebuah pabrik di Kawasan Cilegon Banten. Pengalaman hidupnya memaksa ia tidak dapat mengenyam pendidikan hingga tuntas. Ia hanya selesai sampai STM, maka dari itu ia menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Terlebih ia menyadari tantangan jaman yang semakin keras menghadang. Sampai di sini sebenarnya tidak ada yang salah, bahkan tekad sang ayah yang memprioritaskan pendidikan anaknya patut diacungi jempol. Hanya saja ketika segalanya telah melampaui batas kewajaran alias overdosis, segalanya menjadi patut dipertanyakan.

Demi kelanjutan kuliah Wiwid, Pak Wardi berusaha menggali informasi berbagai pihak mengenai peluang tempat kuliah yang terbaik. Tak segan-segan ia berkenalan dengan dosen dari kampus tertentu, dengan tentor bimbel, ataupun alumni suatu perguruan tinggi. Bahkan pegawai ataupun pejabat tertentu di suatu kantor ditanyainya pula mengenai peluang kerja suatu jurusan studi. Intinya ia ingin mempersiapkan segalanya buat anak tercinta.



Sumber : Korban jaman

ARTI ASSALAMU’ALAIKUM


Islam memiliki akar kata salam. Salam berarti damai, aman, atau selamat. Dengan demikian makna Islam bisa diartikan kedamaian, keamanan, atau keselamatan. Islam merupakan jalan dan tuntunan untuk menghindari ketidak-damaian, ketidak-amanan, dan ketidak-selamatan. Demikian sebagaimana makna kata agama, a berarti tidak, sedangkan gama berarti kekacauan.

Berdasarkan asas dasar tujuan agama Islam tersebut di atas, maka setiap pemeluk atau ummat Islam harus memiliki keluasan untuk menebarkan benih-benih kedamaian, keamanan, dan keselamatan dalam setiap aspek kehidupan. Inilah arti sejati manusia sebagai khalifatullah fil ardzi, manusia sebagai pemakmur dunia.

Sebagai salah satu amalan kecil untuk menebarkan kedamaian adalah perintah untuk menebarkan salam, “kedamaian”, diantara sesama manusia. Ini merupakan amalan yang langsung ditauladankan oleh Kanjeng Nabi Muhammad, dan seringkali sangat diwanti-wanti oleh para kiai dan ustadz. Makna sempit dari memberikan salam adalah mengucapkan kalimat “Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh”. Bila mengacu kepada pemaknaan yang lebih luas untuk menebarkan rasa kedamaian, keamanan, dan keselamatan, maka bisa saja ungkapan salam disampaikan dalam ideom lokal sesuai adat istiadat dan budaya setempat.

Maka dari itu kalimat salam bisa saja berbunyi selamat pagi, selamat jalan, sampai jumpa, kulo nuwun, slamet to kabare, hai, how are you, dan lain sebagainya. Ungkapan penggantian salam ini memang pernah menjadi polemik yang sengit pada saat dilempar Gus Dur ke publik beberapa dekade yang lalu.

Jika ditelaah lebih mendalam, maksud Gus Dur adalah pengungkapan suatu ajaran agama dalam hal hubungan muammalah ke dalam tradisi yang muncul dari kearifan lokal (local wisdom). Ini sekaligus sebagai isyarat bahwa Islam tidak identik dengan Arab, sehingga sekaligus bahwa Arab adalah Islam.

Sebagai ungkapan uluk salam yang mendamaikan, sudah tentu semestinya bila seseorang mendengar ungkapan tersebut dari orang lain ia akan merasakan frekuensi dan gelombang kedamaian dari si pemberi salam. Namun apakah memang demikian yang kita rasakan?

Ungkapan Kanjeng Nabi memang sudah jelas bahwa innamal a’malu binniyat, segala sesuatu tergantung dari niatnya. Bila si pengucap salam memiliki kejernihan dan kesholehan hati, maka hati tersebut akan memancarkan gelombang kesucian yang menyejukkan bagi orang lain yang dapat menangkap gelombang tersebut. Lain halnya bila ungkapan salam diucapkan untuk tujuan dan pamrih tertentu yang jauh dari nilai ketulusan. Maksudnya gimana to?

Begini, di jaman serba susah ini segala hal memang mengalami politisasi demi kepentingan tertentu yang lebih bersifat ekonomi keduniawian. Nah, demikian halnya dengan ungkapan salam tadi. Seorang pengemis, anak jalanan, atau preman dan pemalak juga sering menggunakan ungkapan salam untuk membangkitkan rasa iba. Bila seorang pengemis atau anak jalanan yang memang benar-benar dilemahkan mengungkapkan salam dari kedalaman hati, pastilah pancaran gelombang yang muncul juga murni dan jujur. Dengan demikian bisa jadi yang tersentuh oleh gelombang salam yang tulus tersebut akan tergerak untuk mengulurkan bantuan, meski sekedar sekeping uang receh.

Lain halnya bila seorang preman, bahkan pemalak, mengungkapkan salam! Bukannya rasa aman atau damai yang dirasakan oleh orang, malahan perasaan terancam dan keterpaksaan. Ini karena uluk salam mengandung udang di balik batu, tiada keikhlasan dan ketulusan untuk bersilaturahmi. Salam hanya diperalat untuk kepentingan mendapatkan uang.

Pengalaman lain bisa pula dijadikan bahan perenungan. Di jaman yang dikatakan sebagai jaman wis akhir ini, memang nampak begitu semangatnya ummat Islam untuk membangun dan mempermegah bangunan masjid. Satu sama lain seolah-olah terjebak dalam kompetisi untuk berlomba-lomba memperindah fisik masjid. Bila hal ini disertai pula dengan usaha pemakmuran masjid tentu saja akan sangat bagus. Namun yang seringkali terjadi adalah kompetisi kemegahan secara fisik semata, dengan mengabaikan sisi pemakmurannya. Inilah hal yang mempercepat kedatangan hari akhir.

Demi maksud di atas, berbagai cara ditempuh dalam usaha penggalangan dana. Ada yang mencegat kendaraan di tengah jalan sambil menyodorkan kotak atau jaring infak. Ada yang memasang kenclengan di toko, warung, atau fasilitas umum yang lain. Ada pula yang mengedarkan proposal dari satu instansi ke instansi yang lain. Model lainnya, mengetuk pintu dari rumah ke rumah, door to door istilahnya. Nah kemudian apa hubungannya dengan salam?

Salam seringkali digunakan sebagai ungkapan untuk menyapa para calon penyumbang. Sekali lagi, bila ungkapan tersebut tulus dan memang pengumpulan dana benar-benar untuk tujuan kebaikan pastilah orang lain akan bersimpati. Lain halnya bila niatnya untuk memperkaya diri sendiri, dan ini memang sudah banyak terungkap di berbagai pemberitaan.

Niat yang baik alangkah lebih baik bila dilakukan dengan langkah yang baik pula. Seorang pengurus masjid di musholla sebelah hampir setiap hari mengucapkan salam di setiap pintu warga. Assalamu’alaikuuuuuum……..demikian sapaan nyaring di depan pintu. Para wargapun semakin hafal bahwa si bapak pasti akan menyodorkan kresek hitamnya untuk meminta uang sumbangan guna pembangunan musholla yang tidak pernah ada henti-hentinya. Sedemikian hafalnya dengan uluk salammnya si bapak, sampai-sampai para ibu-ibu menjulukinya dengan sebutan Pak Salam.

Sebenarnya bila penyaluran infak warga dikelola dengan sistem yang baik, tentulah warga tidak merasa keberatan. Namun bila hampir tiap hari Pak Salam beruluk salam, sudah pasti warga lama kelamaan menjadi gundah. Bukannya tidak ikhlas, tetapi kok kemudian warga merasa tiap hari harus setor uang keamanan ya? Kemudian dimana bedanya Pak Salam dengan preman pemalak anak jalanan yang setiap hari minta setoran dari anak jalanan “asuhannya”?

Bila waktu penarikan sumbangan agak diperlonggar, katakanlah sebulan sekali, bukankah warga akan lebih ikhlas, tidak terganggu dan pastinya memberi lebih banyak. Bandingkan bila tiap hari ditarik uang amal, paling yang keluar sewu mawon! Itupun sekedar rasa tidak enak hati, dan sudah pasti dengan hati yang masgul. Intinya tidak ada keikhlasan dalam beramal.

Jadi arti salam yang terakhir ini adalah minta duit. Dan ini jelas tidaklah membuat hati orang menjadi tentram dan akrab, melainkan merasa terganggu bahkan terkadang sangat muak!

Sumber : sang nananging jagad

Tuhan Bersemayam di Pohon


FILSAFAT LUHUR TENTANG POHON

Berbincang soal pohon, apa to istimewanya? Hampir setiap hari kita mungkin menjumpai pohon. Ada pohon pisang, mangga, rambutan, blimbing, durian, kelapa, mahoni, hingga pohon cemara atau pinus, dan lain sebagainya. Bila demikian yang kita alami, maka bersyukurlah itu sebagai anugerah Yang Maha Kuasa. Banyak sedulur kita yang tinggal di tengah kota besar hanya mendapati pohon beton di lingkungannya. Bahkan banyak diantara mereka yang kemudian menghibur diri dengan pohon-pohonan, alias pohon bohongan. Lalu apa bedanya?

Dalam ilmu biologi, tumbuhan tergolong sebagai makhluk hidup. Dikatakan demikian karena tumbuhan mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan sendiri merupakan proses peningkatan volume tubuh yang bersifat tidak dapat balik, alias irreversible.

Bakteri merupakan contoh tumbuhan tingkat rendah, karena hanya terdiri atas satu sel. Sel berkumpul membentuk jaringan. Jaringan sel yang sama menyatu menjadi organ. Pohon merupakan jenis tumbuhan tingkat tinggi karena pohon memiliki susunan organ yang telah sempurna, meliputi akar, batang, dahan, ranting, daun, dan lain sebagainya.

Kok tiba-tiba tertarik berbincang tentang pohon? Dalam acara Amprokan Blogger 2010 di Bekasi kemarin, roda ruang dan waktu telah mempertemukan penulis dengan “Sang Begawan” Pohon Indonesia. Beliau adalah Bapak Eka Budiyanta. Pria kelahiran bawah sebuah pohon sawo di Jember ini terkenal dengan berbagai artikel “hijaunya” di Trubus.

Mengawali perbincangan, Beliau bertanya, “Sudahkah Anda berterima kasih kepada pohon hari ini?”

Pohon adalah makhluk Tuhan yang melayani manusia dengan sangat setia. Setiap hari diserapnya “sari pati bumi” melalui akar-akar kokohnya. Dengan keajaiban efek kapilaritas, sari pati tersebut diangkut melewati batang, dahan, ranting, untuk kemudian sampai di dapur yang bernama daun. Dalam daun, “sari pati bumi” berpadu dengan “sari pati langit” melalui “akad” fotosintesa yang disaksikan oleh gas karbon dioksida(CO2). Dari proses “persetubuhan” ini dilahirkanlah gas oksigen(O2), sebagai kebutuhan utama pernafasan manusia. Di sinilah urgensi kita untuk berterima kasih kepada pohon, bahkan pada setiap tarikan nafas kita. Pohon adalah perantara kehidupan manusia.

Bagaimana cara berterima kasih kepada pohon? Sebagaimana manusia, pohonpun butuh cinta dan kasih sayang. Pohon butuh ruang tumbuh, maka sediakanlah selalu tanah yang cukup untuk sang pohon. Rawatlah pohon dengan baik dan penuh perhatian. Cukupilah nutrisi pohon dengan memberikan siraman air dan pemupukan. Maka jadilah manusia sebagai sahabat setia bagi pohon.

Keserakahan manusia menjadikan pohon ditebang dimana-mana. Hutan rimba raya belantara dibabat habis hanya demi kepuasan perut manusia tidak berbudi. Bukit dan gunung menjadi gundul karena hilangnya pohon. Kemudian apa yang terjadi?

Kekeringan akibat hilangnya sumber mata air di musim kemarau menghantui manusia di berbagai belahan dunia. Manusia semakin sulit untuk mencukupi sumber air bakunya. Sebaliknya, pada musim penghujan terjadi tanah longsor dan banjir bandang dimana-mana. Pohon yang semestinya menangkap air hujan dan meneruskannya untuk diserap ke dalam batuan bumi, telah semakin jarang. Semua air lari tunggang langgang di permukaan tanah menjadi air bandang.

Manusia seringkali kasak-kusuk mencari kambing hitam. Pemanasan global-lah, perubahan iklim, hingga kutukan Nyi Roro Kidul dikatakan sebagai penyebab bencana. Padahal kalau manusia mau jujur, semua itu jelas karena keserakahannya sendiri. Salah satu keserakahan itu adalah sikap menyia-nyiakan pohon!

Pohon tergolong makhluk hidup yang tingkatannya berada dua tingkat di bawah kemakhlukan manusia, setelah binatang tentunya. Namun pohon justru memiliki kedudukan teramat istimewa karena konon Tuhan “bertempat tinggal” di atas pohon. Kok bisa begitu?

Manusia melengkapi ikhtiar perjuangan hidupnya dengan doa kepada Tuhan. Manusia diperintahkan untuk “memanjatkan” doa hanya kepada-Nya. Dimana kita akan memanjat? Jawabnya ya memanjat pohon!

Kemudian untuk apa memanjatkan doa? Bukan lain, tentu saja untuk “momohon” sesuatu. Kok ya memohon, bukan membatu, mencangkul, menulis atau me-me-me-me yang lainnya? Pesannya menjadi tampak jelas to? Manusia tidak dapat hidup tanpa pohon. Pohon adalah salah satu syarat terbentuknya lingkungan hidup yang harmonis.

Tak kenal, maka tak sayang! Maka untuk mencintai pohon, mulailah dengan mengenalnya. Bila bertemu pohon, cobalah berkenalan dan menanyakan siapa namanya, “he pohon, namamu siapa?” Selanjutnya dapat diteruskan dengan pertanyaan lain semisal, daunmu bisa untuk mengobati penyakit apa, batangmu bisa dibuat kusen pintu atau jendela, dan lain sebagainya. Inilah fungsi pohon sebagai guru kehidupan, sebagai sarana pembelajaran bagi manusia untuk dapat memanfaatkannya secara lebih bijaksana dan bermakna.

Kepada pohon kita belajar. Kepada akarnya, kepada batangnya, kepada dahannya, kepada rantingnya, kepada daun, bunga, bahkan kepada buahnya kita bisa belajar tentang banyak pengetahuan dan nilai kearifan hidup.

Pada daun yang gugur melayang setelah menjalani tugas mulia menghasilkan oksigen, kita bisa bercermin bahwasanya manusia hidup juga akan mengalamai masa ketuaan hingga akhirnya maut menjemput untuk menghadap kepada Sang Khalik, Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun lihatlah betapa si daun yang gugur nampak bergoyang bahagia setelah lepas dari tangkainya dikarenakan tugas mulia yang diamanatkan Tuhan kepadanya telah ditunaikan dengan sangat baik. Daun itu memberikan manfaat kehidupan kepada makhluk yang lain. Daun itupun hidup untuk menghidupi kehidupan.Inilah salah satu wujud penyadaran pentingnya pohon bagi keberlangsungan kehidupan.

Mari yang ingin turut menghijaukan lingkungan hidup. mulailah dengan kesadaran diri sendiri, menuliskan artikel di blog masing-masing, tentunya diharapkan akan berlanjut dengan tindakan nyata untuk lebih banyak menanam pohon.

Sesungguhnya manusia sebagai Khalifah fil ardhi (avatar) sebagai pengatur jalannya air, tanah, udara, maupun pepohonan-pepohonan di sekitar kita. karena kehidupan manusia terikat oleh 3 ikatan (hablumminallah, hablumminannas, wa hablumminal alam)ikatan ketiganya itulah yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan manusia. mulai dari sekarang jadilah Avatar sejati yang memanfaatkan segala sesuatu untuk kebaikan, kemaslahatan, dan kebajikan bersama.



Smber :tuhan-bersemayam-di-pohon

Senin, 20 Juni 2011

Curhat Setan: Al-Quran yang Dibakar!


Pembatalan pembakaran Al-Quran hanya omong kosong belaka. Faktanya, dua pendeta justru melakukannya. Yang melakukan bukan Pendeta Terry Jones, tapi kedua pengikutnya. Pendeta Bob Old bersumpah melaksanakan aksinya membakar Al-Quran. Bersama Pendeta Danny Allen, Old melakukan aksinya di hadapan sekelompok orang yang sebagiannya merupakan awak media, Sabtu (11/9) lalu, sama persis pada hari yang dideklarasikan Terry Jones.

Kedua pendeta itu menyiram dua buah mushaf dan sebuah teks Islam lainnya dengan cairan pembakar, lalu menyulutnya dengan api. Mereka menyaksikan bersama-sama kitab suci umat Islam itu menjadi abu.

Aksi dua pendeta itu dilakukan di pekarangan belakang kediaman Old. Mereka mengatakan aksinya merupakan pesan dari Tuhan. Old mengatakan gereja telah mengecewakan banyak orang karena tidak mendukung aksinya. “Saya yakin bahwa sebagai negara kita berada dalam bahaya,” ujarnya sebagaimana dikutip media online Tennessean (12/10).

“Ini adalah buku berisi kebencian, bukan cinta,” katanya sambil memegang Al-Quran sebelum kemudian membakarnya. “Ini adalah kitab palsu, Nabi Muhammad adalah nabi palsu dan itu merupakan wahyu palsu,” tambahnya.

Kedua pendeta itu lantas melakukan apa yang disebutnya sebagai “demonstrasi damai” dengan sedikit gegap gempita. Delapan orang wartawan ikut menyaksikan aksi kedua rohaniwan gereja itu. [Gila, Al-Quran Ternyata Jadi Dibakar, metrotvnews.com]

“Anjing!” rutuk saya sesaat setelah membaca berita itu, “Ini gila! Kita harus perang! Terkutuklah mereka!” Umpatan-umpatan dan caci-maki saya keluar tanpa kontrol.

“Setan!” teriak saya sekali lagi.

Tiba-tiba Tuan Setan muncul di hadapan saya! Wajahnya penuh kemarahan. “Bakarlah Al-Quranmu!” kata Tuan Setan tiba-tiba.

Jelas saya berang mendengar ucapannya. Emosi saya naik pitam. Dada saya turun naik. Dan seketika kutuk dan serapah membrudal dari mulut saya. “Percuma selama ini aku mulai menaruh rasa simpati kepadamu! Kau ternyata memang pantas dilaknat dan dimusuhi! Terkutuklah kau!”

“Bakarlah Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, dengan nada yang lebih tegas. Matanya nyalang. Gigi-giginya gemertak. Lalu telunjuknya mengarah tepat ke wajah saya. “Bakar!” ia berteriak, “Bakarlah kalau memang selama ini ia hanya menjadi kertas, bakarlah! Bakarlah!”

Napas saya turun naik, mata saya memerah, tangan saya mengepal. “Terkutuklah kau!” teriak saya.

“Mana Al-Quranmu!?” bentak Tuan Setan.

Tiba-tiba saya tersintak. Tiba-tiba saya merasa harus menemukan Al-Quran milik saya yang entah saya simpan di mana, sementara Tuan Setan terus menerus berteriak “Bakar! Bakarlah Al-Quranmu!” Saya terus mencari. Di manakah saya menyimpan Al-Quran saya? Saya membongkar isi lemari, mengeluarkan buku-buku, berkas-berkas, tumpukan kliping koran, dan kertas-kertas apa saja dari dalam lemari. Di manakah Al-Quran saya? Saya mulai resah mencari di mana Al-Quran saya. Saya ke ruang tamu, ke ruang tengah, ke dapur, ke seluruh penjuru rumah. Saya memeriksa ke belakang lemari, ke sela-sela tumpukan kaset dan CD-CD, ke mana-mana. Tetapi, saya tak menemukan Al-Quran saya! Di manakah saya menyimpan Al-Quran saya?

“Bakarlah Al-Quranmu!” sementara Tuan Setan terus-menerus berteriak, “Bakar!”

Saya mulai panik dan resah, kemarahan saya mulai pudar, ternyata saya tak bisa menemukan Al-Quran saya sendiri.

“Bakarlah Al-Quranmu kalau itu hanya menjadi kertas usang yang kausia-siakan!” kata Tuan Setan tiba-tiba.

Dada saya berguncang hebat. Pelan-pelan tapi pasti saya mulai menangis—tetapi saya belum menyerah untuk terus mencari Al-Quran saya. Di mana Al-Quran saya? Ada sebuah buku tebal berwarna hijau di atas lemari tua di kamar belakang, saya kira itulah Al-Quran saya, setelah saya ambil ternyata bukan: Life of Mao. Saya kecewa. Saya terus mencari sambil diam-diam air mata saya mulai meluncur di tebing pipi.

“Bakarlah Al-Quranmu!” suara Tuan Setan kembali memenuhi ruang kesadaran saya. Tetapi kini saya tak bisa marah lagi, ada perasaan sedih dan kecewa mengaduk-aduk dada saya. Ada sesak yang tertahan, semantara isak tangis tak sanggup saya tahan.

Akhirnya saya menyerah. Saya tak menemukan Al-Quran saya di mana-mana di setiap sudut rumah saya!

Kemudian Tuan Setan tersenyum menang, ia menyeringai dan menatap saya dengan sinis. “Jadi, kenapa kau mesti marah saat ada orang yang membakar dan menginjak-injak Al-Quran?” kemudian ia tertawa. “Lucu! Ini lucu! Mengapa kau mesti marah sedangkan kau sendiri tak memperdulikannya selama ini?”

Saya terus menangis. Dada saya berguncang. Tuan Setan tertawa. “Jadi, mengapa kau mesti mengutuk mereka yang menyia-nyiakan dan merendahkan Al-Quran sementara kau sendiri melakukannya—diam-diam?” katanya sekali lagi. Ada perih yang mengaliri dada saya, mendesir gamang ke seluruh persendian saya.

Tiba-tiba saya ingat sebuah tempat: gudang belakang rumah. Barangkali Al-Quran saya ada di situ!

Saya bergegas bangkit dari tubuh saya yang tersungkur, saya berlari menuju gudang belakang, membuka pintunya, lalu menyaksikan tumpukan barang-barang bekas yang usang dan berdebu. Sebuah kotak tersimpan di sudut ruang gudang, saya segera ingat di situlah saya menaruh buku-buku bekas yang sudah tua dan tak terbaca. Seketika saya hamburkan isi kotak itu, membersihkannya dari debu, dan akhirnya… saya mendapatkannya: Al-Quran saya!

Saya menatap Al-Quran saya dengan tatap mata rasa bersalah. Saya mengusap-usapnya, meniupnya, membersihkannya dari debu yang melekat di mushaf tua itu. Kemudian Saya mendekapnya erat-erat—mengingat masa kecil saya belajar mengeja huruf hijaiyyah, menghafal surat Al-Fatihah… “Astagfirullahaladzhim…” tiba-tiba dada saya bergemuruh, air mata saya menderas.

Tuan Setan tertawa lepas. “Bakar saja Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, “Bukankah ia tak berguna lagi bagimu?” nada bicaranya mengejek.

Saya masih mendekap Al-Quran saya, tergugu dengan dada seolah tersayat sembilu.

“Jika pendeta yang membakar Al-Quran itu mengatakan bahwa Al-Quran adalah buku yang penuh kebencian, bukankah mereka hanya menilainya dari perilaku yang kalian tunjukkan? Bila mereka mengira Al-Quran hanyalah kitab omong kosong dan Muhammad yang membawanya hanya nabi palsu yang berbohong tentang firman, bukankah itu karena kau—kalian semua—tak pernah sanggup menunjukkan keagungan dan keindahannya? Kau, kalian semua, harus menjelaskannya!

“Jangankan menunjukkan keindahan dan keagungan Al-Quran, membacanya pun kau tak! Jangankan menaklukkan musuh Tuhan sementara menaklukkan dirimu sendiri pun kau tak sanggup! Apa sih maumu? Al-Quran tak pernah mengajarkan permusuhan dan kebencian, Al-Quran tak pernah mengajarkan hal-hal yang buruk, lalu kenapa kau terus-menerus melakukannya? Al-Quran selalu mengajarimu kebaikan, mengapa kau tak pernah mau mengikutinya? Heh, ya, aku baru ingat, jangankan mengikuti petunjuknya, memahami dan membacanya pun kau tak!

“Lalu kenapa kau harus marah ketika Al-Quran dibakar? Mengapa kau tak memarahi dirimu sendiri saat kau menyia-nyiakan Al-Quranmu? Ini bukan semata-mata soal pendeta yang membakar Al-Quran, ini bukan semata-mata soal pelecehan terhadap institusi agamamu, ini bukan semata-mata soal permulaan dari sebuah peperangan antar-agama, ini semua tentang kau yang selama ini menyia-nyiakan Al-Quran, tentang kau yang secara laten dan sistematis menyiapkan api dan bensin dari perilaku burukmu untuk menunggu Al-Quran dibakar lidah waktu yang meminjam tangan orang-orang yang membenci agamamu! Mereka tak akan berani membakar Al-Quran, kitab sucimu itu, kalau saja selama ini kau sanggup menunjukkan nilai-nilai agung yang dibawa Nabimu, nilai-nilai kebaikan yang termaktub dalam teks suci kitab yang difirmankan Tuhanmu! Maka bila kau tak sanggup menggemakan Quran amanat nabimu ke segala penjuru, tak sanggup menerima cahayanya dengan hatimu, bakarlah Al-Quranmu! ”

Lalu seketika terbayang, Al-Quran yang teronggok sia-sia di rak-rak buku tak terbaca, Al-Quran yang diletakkan di paling bawah tumpukkan buku-buku dan majalah, Al-Quran yang kesepian tak tersentuh di masjid dan langgar-langgar, Al-Quran yang tak terbaca dan (di)sia-sia(kan)!

Saya menangis; memanggil kembali hapalan yang entah hilang kemana, mengeja kembali satu-satu alif-ba-ta yang semakin asing dari kosakata hidup saya. Saya melacaknya dalam ingatan saya yang terlanjur dijejali kebohongan, kebebalan, penipuan, dan pengkhiatan-pengkhiantan. Di manakah Al-Quran dalam diri saya?

“Maka, bakarlah Al-Quran oleh tanganmu sendiri!” kata Tuan Setan, “Hentikan airmata sinetronmu, hentikan amarah palsumu, hentikan aksi solidaritas penuh kepentinganmu, hentikan rutuk-serapah politismu, sebab kenyataannya kau tak pernah mencintai Al-Quran! Bakarlah!”

Tuan Setan tertawa lepas.

“Maafkan…” suara saya tiba-tiba pecah menjelma tangis, “Maafkan…,” lalu saya bergegas pergi dengan Al-Quran yang kugamit di lengan kananku.

“Bakar saja Al-Quranmu!” teriak Tuan Setan yang kutinggalkan di gelap ruangan gudang. Lamat-lamat tawanya masih ku dengar di ujung jalan.

Saya mencari masjid, saya ke mal, saya ke pasar, saya ke terminal, saya ke sekolah, saya ke mana-mana… Saya ingin mencari mushaf-mushaf Al-Quran yang disia-siakan. Saya ingin membersihkannya dari debu dan mengajak sebanyak mungkin orang membacanya. Saya masih bergegas dengan langkah yang galau. Saya ingin mengabarkan keagungan dan keindahan Al-Quran, tapi bagaimana caranya? Sedangkan saya sendiri tak memahaminya? Saya ingin menggaungkannya di mana-mana, tapi bagaimana caranya?

Saya terus bertanya-tanya bagaimana agar Al-Quran tak dibakar? Bagaimana agar Al-Quran tak terbakar? Bagaimana?

Ya, Tuhan akukah insan yang bertanya-tanya?

Ataukah aku Mukmin yang sudah tahu jawabnya?

Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi

Aduhai, akan kemanakah kiranya aku bergulir

Di antara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat

Akankah kulihat sezarah saja kebaikan yang pernah kubuat?

Ya Tuhan, nafasku gemuruh, diburu firmanmu!

[KH. Mustafa Bisri, Tadarus]

Saya terus menangis dalam langkah-langkah gelisah yang bergegas, haruskan saya melawan semua ini dengan amarah dan kebencian? Ataukah saya harus menunjukkan kepada mereka semua yang membenci Al-Quran bahwa sungguh mereka telah keliru? Haruskah saya kembali marah dan membakar kitab suci mereka di mana-mana, atau akan lebih baikkah jika saya jawab mereka dengan cinta dan kasih sayang—meneladani Muhammad dengan menunjukkan kepada mereka kebaikan cahaya Al-Quran karena sesungguhnya mereka hanya belum tahu!?

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Bacalah!” tiba-tiba suara Tuan Setan datang lagi, “Biarkanlah mereka membakar mushaf sebab Al-Quran bukanlah kertas yang bisa mereka bakar. Bacalah Al-Quran hingga suaranya terdengar oleh hatimu, bergema di seluruh ruang kesadaranmu, maka kau tak akan kecewa mendapati mushaf-mushaf yang terbakar atau ayat-ayat yang teronggok di ruangan-ruangan tua berdebu buku. Sebab Al-Quran bukanlah mushaf, Al-Quran adalah semesta, nama di luar kata! Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.”

Saya terdiam mendengar kata-kata Tuang Setan yang terakhir, “Tuan Setan, sebenarnya siapakah kamu? Apa agamamu?”

Ia terkekeh, bahunya berguncang, “Akulah yang kau lihat dalam tidurmu: berlarian atau terbang atau tertawa tanpa suara, sesuatu yang lama kau idamkan tetapi lupa kau sapa. Akulah yang membakar Al-Quranmu!”

Ia terus terkekeh, terbatuk, lalu menghilang.

Fahd Djibran

Analisis

Manusia Indonesia raya seharusnya berterima kasih kepada setan yang telah mengingatkan kita untuk selalu membicarakan, membaca, dan mengamalkan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Maka janganlah seperti binatang paling bodoh nomor satu di dunia yaitu ayam. Ketika tidak ada motor/mobil lewat, asyik-asyik saja di pinggir jalan, namun ketika ada motor/ mobil yang lewat malah lari ketengah jalan.., ya mati konyol.

Al-Qur’an sekali lagi tidak pernah mengajarkan kebencian, permusuhan, dendam, apalagi peperangan sampai ada pertumpahan darah. Yang perlu kita benci, musuhi, dendam, dan perangi sesungguhnya ada di dalam diri kita sendiri yaitu “nafsu”. Kamu tahu kapan nafsu menyerangmu? Kamu tahu kapan nafsu membencimu? Kamu tahu kapan nafsu memusuhimu? Dan setan seseungguhnya tidaklah berbuat apa-apa kepada manusia, tapi setan memanfaatkan nafsumu yang tidak kau kuasai itu.

sumber : kenduri cinta

SAYA MANUSIA WAJIB, SUNNAH, MUBAH, MAKRUH, ATAU HARAM??

Ternyata derajat kemuliaan seseorang dapat dilihat dari sejauh mana diri punya nilai manfaat bagi orang lain. Rasulullah SAW bersabda “Khairunnas anfa’uhum linnas” “Sebaik-baik manusia diantaramu adl yg paling banyak mamfaat bagi orang lain.” Hadits ini seakan-akan mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur sejauh mana derajat kemuliaan akhlak kita maka ukurlah sejauh mana nilai manfaat diri ini? Istilah Emha Ainun Nadjib- tanyakanlah pada diri ini apakah kita ini manusia wajib sunat mubah makruh atau malah manusia haram? Apa itu manusia wajib? Manusia wajib ditandai jikalau keberadan sangat dirindukan sangat bermafaat perilaku membuat hati orang di sekitar tercuri. Tanda-tanda yg nampak dari seorang manusia wajib diantara dia seorang pemalu jarang mengganggu orang lain sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku keseharian lbh banyak kebaikannya. Ucapan senantiasa terpelihara ia hemat betul kata-kata sehingga lbh banyak berbuat daripada berbicara. Sedikit kesalahan tak suka mencampuri yg bukan urusan dan sangat ni’mat kalau berbuat kebaikan. Hari-hari tak lepas dari menjaga silaturahmi sikap penuh wibawa penyabar selalu berterima kasih penyantun lemah lembut bisa menahan dan mengendalikan diri serta penuh kasih sayang.

Bukan kebiasaan bagi yg akhlak baik itu perilaku melaknat memaki-maki memfitnah menggunjing bersikap tergesa-gesa dengki bakhil ataupun menghasut. Justru ia selalu berwajah cerah ramah tamah mencintai krn Allah membenci krn Allah dan marah pun krn Allah SWT subhanallaah demikian indah hidupnya.

Karena siapapun di dekat pastilah akan tercuri hatinya. Kata-kata akan senantiasa terngiang-ngiang. Keramahan pun benar-benar menjadi penyejuk bagi hati yg sedang membara. Jikalau saja orang yg berakhlak mulia ini tak ada maka siapapun akan merasa kehilangan akan terasa ada sesuatu yg kosong di rongga qolbu ini. Orang yg wajib ada pasti penuh mamfaat. Begitulah kurang lebih perwujudan akhlak yg baik dan ternyata ia hanya akan lahir dari semburat kepribadian yg baik pula.

Orang yg sunah keberadaan bermanfaat tetapi kalau pun tak ada tak tercuri hati kita. Tidak ada rongga kosong akibat rasa kehilangan. Hal ini terjadi mungkin krn kedalaman dan ketulusan amal belum dari lubuk hati yang paling dalam. Karena hati akan tersentuh oleh hati lagi. Seperti hal kalau kita berjumpa dgn orang yg berhati tulus perilaku benar-benar akan meresap masuk ke rongga qolbu siapapun.

Orang yg mubah ada tak ada tak berpengaruh. Di kantor kerja atau bolos sama saja. Seorang pemuda yg ketika ada di rumah keadaan menjadi berantakan dan kalau tak adapun tetap berantakan. Inilah pemuda yg mubah. Ada dan tiada tak membawa manfaat tak juga membawa mudharat.

Adapun orang yg makruh keberadan justru membawa mudharat. Kalau dia tak ada tak berpengaruh. Arti kalau dia datang ke suatu tempat maka orang merasa bosan atau tak senang. Misal ada seorang ayah sebelum pulang dari kantor suasana rumah sangat tenang tetapi ketika klakson dibunyikan tanda sang ayah sudah datang anak-anak malah lari ke tetangga ibu cemas dan pembantu pun sangat gelisah. Inilah seorang ayah yg keberadaan menimbulkan masalah.

Lain lagi dgn orang bertipe haram keberadaan malah dianggap menjadi musibah sedangkan ketiadaan justru disyukuri. Jika dia pergi ke kantor perlengkapan kantor pada hilang maka ketika orang ini dipecat semua karyawan yg ada malah mensyukurinya.

Masya Allah tak ada salah kita merenung sejenak tanyakan pada diri ini apakah kita ini anak yg menguntungkan orang tua atau hanya jadi benalu saja? Masyarakat merasa mendapat manfaat tak dgn kehadiran kita? Ada kita di masyarakat sebagai manusia apa wajib sunah mubah makruh atau haram? Kenapa tiap kita masuk ruangan teman-teman malah pada menjauhi apakah krn perilaku sombong kita? Kepada ibu-ibu hendak tanyakan pada diri masing-masing apakah anak-anak kita sudah merasa bangga punya ibu seperti kita? Pu manfaat tak kita ini? Bagi ayah cobalah mengukur diri saya ini seorang ayah atau gladiator? Saya ini seorang pejabat atau seorang penjahat? Kepada para mubaligh harus berta benarkah kita menyampaikan kebenaran atau hanya mencari penghargaan dan popularitas saja?

Sekarang marilah refleksi dari diri kita sendiri, Indonesia sekarang mengalami keterbelakangan kedewasaan mungkin masih terlalu banyak manusia haramnya daripada manusia wajib,Sunnah, maupun mubahnya...Wallahu A’lam.

{Sumber : Tabloid MQ EDISI 01/TH.II/MEI 2001}

sumber : file chm bundel Tausyiah Manajemen Qolbu Aa Gym