Jika tahun baru tiba, aku mengurung diri di kamar, seharian,
semalaman. Aku selalu takut keramaian, sebab dalam keramaian, manusia
menari-nari di ombak nilai paling permukaan. Aku selalu sunyi dalam
keriuhan, karena dalam keramaian, manusia hanya sekilas-kilas memandang
satu sama lain. Keramaian adalah gembok amat rapat bagi ilmu
pengetahuan dan kedalaman.
Pijakkan kaki didataran terjal
dari tahun ke tahun dari tempatmu masing-masing, juga aku dari
tempatku sendiri, tempat yg maaf__ku pilih sendiri.
Apa
doa yg kau pilih? Aku mohon supaya Indonesia mulai menemukan akal
sehatnya, semoga proses anti pembodohan dibantu oleh para Malaikat,
semoga demokratisasi tidak terlalu tahayul, semoga para pemimpin Islam
selamat dari atmosfer “shummumbukmun“, serta semoga semua manusia dan kelompok-kelompok manusia dibimbing menemukan “kebenaran yang sejati” dalam “ilallah” yang sesunguh-sungguhnya.
Gusti Allah, kami makhluk yang Engkau istimewakan, namun yang kami himpun adalah kebodohan. Tak sanggup kami temukan “laa ilaaha” ketika berada di pasar, di kantor, di toko- toko, di bioskop, di mana sajan sehingga “ilallah”
kami pun kacau balau. Gusti Allah, sampai hari ini pun belum kami
masuki surah Al- Ikhlas-Mu dalam kehidupan sehari-hari, dalam politik,
dalam kebudayaan, hukum, ekonomi, dan nurani. Kami ini manusia
pra-Ibrahim.
Dengan hati berdebar ku masuki 1991, tahun “furqan“, tahun dikotomi, tahun polarisasi ekstrem antara kegelapan dan cahaya
Perkenankanlah
aku memasuki “dunia puisi” (telah bertemu dengan-Mu kah rahasia puisi
Qur’an di balik setiap hurufnya?). Sebab, buat sementara puisilah
penjaga kejujuranku, obyektivitasku, kejernihan, dan kesejahteraanku.
Sudah
lama Rabiah melambai-lambaikna tangannya kepadaku, dan ku jawab,
“Sebentar, aku masih harus menukangi Lautan Jilbab dan Keluarga
Sakinah untuk umat-Mu yang butuh harga diri!”.
Sudah lama Rumi
menggoda-goda lagu kangen jiwa terdalamku, namun kujawab, “tunggu
dulu”, aku masih harus berkeliling-keliling menemani umat yang kurang
disantuni umara maupun ulamanya!
Sudah lama Kahlil Gibran, (yg
menjelang akhir hayatnya menyunggi Qur’an diubun-ubunnya namun tak
pernah diberitahukan orang kepada kita), berkata,”Untuk apa kau
memprimodialkan diri untuk umat yang belum tentu sungguh-sungguh
menerimamu? Untuk apa hampir engkau tumpahkan seluruh tahun-tahun
hidupmu, tenaga, dan fikiranmu. Engkau sisihkan karier dan hak
kehidupan pribadimu untuk umat yang tanpa kepemimpinan dan engkau tak
mampu mengubah keadaan itu, untuk orang-orang yang manis didepanmu
tapi bisa menikam punggung dari belakangmu?”
Aku jawab,
“Tenanglah, Tuhan Maha Dalang, tersenyum dan tertawalah meskipun
“rahasia sirrullah” dalam dirimu tak dipahami orang sehingga engkau
difitnah dan dikutuk-kutuk….”
Kini kuikuti kaki lelah
Rosulullah dan tubuhnya yang terluka dan berdarah sepulang dari Thaif.
Kini kuucapkan doa sebagaimana puisi syahadat kembali yg Beliau
lantunkan. Rasulullah menangis di antara sholat-sholat malamnya,”
Mengapa aku hanya bisa sesekali belaka menangis kepada-Mu, Allah? Aku
cemburu kepada rohani Muhammad Idolaku!”
Kepada kaum Muslimin, aku
mohon pamit untuk sementara waktu. Selama 15 tahun, engkau pekerjakan
aku di “beranda” dan “halaman” masjid. Umat berjubel di situ,
membutuhkan peran penyantunan, peran kecendekiaan, peran kesenimanan,
peran kekiaian, peran ketabiban sosial, peran sahabat kemanusiaan.
Telah kucoba melakukan hal-hal yg sesungguhnya mungkin aku kurang
mampu, yg sesungguhnya merupakan kewajiban formal para pemimpin yg
berada di “kedalaman masjid”. Aku hanya orang kecil dan lemah, yg
pundakku tak berkah menyangga kewajiban makro organisasi tablig, proyek
pencerdasan umat, antisipasi atas proses dahsyat pemurtadan, apalagi
silaturrahmi penumbuhan yg membutuhkan kohesi strategis dalam skala
makro nasional.
Aku hanya orang kecil dan lemah, yg segala
pemenuhan amanahku terbentur dinding masjid. Segala aspirasiku,
pemikiran-pemikiranku, filosofi, dan usulan strategiku, hasil ‘ngasak’
Qur’an-ku sebagai ” mufassir liar” atau “Kiai Comotan, tidak cukup
bermutu untuk bisa diterima di “kedalaman masjid”, dari Muhammadiyah,
NU, ICMI, Dewan Dakwah, MUI, dan lain-lain. Yang kujumpai tak lain
adalah kekecilan dan kelemahanku. Semua yg engkau minta dariku dan yg
aku salurkan dari Allah kepadamu tak pernah cukup terkait dengan
strategi organisasional makro kepemimpinan umat ini. Sehingga kini
setiap suku kata dr mulutku dan setiap gerak langkah kaki sangat
bergantung pada ada tidaknya keterkaitan itu. Tidak lagi bisa dengan
gampang kuberikan hanya untuk romantisme sporadis parsial, hanya untuk
ombak kecil yg justru segera disapu oleh gelombang besar yg membanjir
dr “kedalaman masjid”.
Kepada saudara-saudara seiman di
“beranda” dan “halaman” masjid”, akan kuberikan diriku secara tunai
jika jaminan darimu pun tunai dan menyeluruh. Aku telah berbicara
dengan ratusan kelompok dan ratusan panitia, dan aku menyimpukan kita
masih ‘receh’ sehingga kini kulemparkan diriku di jalanan, ke luar
pagar halaman masjid untuk menyusun karya bagi anak cucu kelak.
Kuletakkan
diriku di jalanan sesak, tempat puisi-puisi tiada berkostum, sebab
tubuhnya telah dipenuhi cahaya nuraninya sendiri. Jalanan sesak oleh
sahabat-sahabatmu yg engkau remehkan, yg engkau najiskan, yg engkau
kafirkan, yg tidak fasih mengucapkan ayat, yg engkau sebut “abangan”,
namun tidak bisa engkau jamin bahwa kualitas iman mereka lebih rendah
daripada kemantapan dan pameran imanmu dalam formalisme-formalisme.
Engkau
tak akan bisa membeli sikapku ini dengan uang berapa pun, dengan air
mata atau ‘backibg’ ayat-ayat yg nanti kusediakan diriku untuk
berdebat denganmu tentang ayat-ayat itu. Mungkin kita akan saling
kehilangan, dan jika kita ingin mengusir rasa kehilangan itu, mari kita
selenggarakan perjanjian tunai. Perjanjian tunai antara kita semua
penghuni “beranda” dan “halaman” masjid untuk berkata sesuatu, berbuat,
menggugat, menuntut, dan mengontrol mereka yg memimpin kita dr
“kedalaman masjid”.
Atau, barangkali kita sama sekali
tidak akan merasa kehilangan sehingga terbuktilah bahwa secara
realistis. Pergiku ke jalanan kembali ini tak salah adanya. (Patang Puluhan 30 Desember 1990, Sumber: buku ” Sudrun Gugat”).
ditulis oleh : Muhammad Ainun Najib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar