saddam

Ummul Kitab Adalah Ibu dari segala aktifitas kita, jadikanlah ummul kitab sebagai permulaan semua aktivitas kita, supaya aktifitasmu terarah oleh-Nya

Rabu, 06 Juli 2011

KUN 'ALIMAN


Kun ‘aliman, au muta’alliman, au mustami’an, au muhibban. Walam takun khomisan, fatahlik. Begitu instruksi Rasulullah. Kalau diterjemahkan secara bebas, kira-kira begini : “dadio wong ‘alim, nek ora yo wong nyantri, nek ora yo ngaji kuping, nek ora yo wong sing seneng karo pengajian”. Ojo dadi sing nomer lima, mengko cilaka. Yang nomer lima itu
gimana? Ya yang tidak termasuk salah satu dari empat yang telah disebut.

Ini kan cermin ya, kita bisa mengukur diri kita masing-masing kira-kira posisi kita dimana. Kalau memakai cara berpikir linear, berarti yang paling tinggi itu jadi orang ‘alim. Orang ‘alim itu siapa? Orang ‘alim adalah orang yang dianugerahi Allah ‘ilmu. ‘ilmu itu apa? ‘ilmu itu cahaya. Lho kok cahaya? Iya, karena ‘ilmu menerangi yang gelap, menjelaskan yang tidak jelas.

Kalau tidak sanggup jadi yang tertinggi, ya nyantri. Belajar sama orang yang sudah ‘alim. Apa-apa yang beliau ajarkan, dicatet. Kalau bisa ngabsahi kitab di pondok pesantren. Kalau ndak sanggup, ya ngaji kuping. Nah perbedaan utama antara santri dan orang yang ngaji kuping, adalah di dokumentasi. Santri mendokumentasikan hasil ngajinya, sedang pengaji kuping hanya mendengar. Ia hanya mengandalkan kemampuan otak untuk mengingat-ingat apa yang diajarkan sang ‘alim. Kalau masih ndak sanggup, yasudah yang penting jangan membenci pengajian, jangan membenci orang mengaji. Cintailah, ikut bersuka-rialah ketika melihat atau mendengar ada pengajian akan digelar. Ikut bergembiralah kalau melihat orang berbondong-bondong berangkat mengaji. Cintailah mereka, meskipun mereka bikin macet jalanan. Kagumilah mereka, yang berangkat mengaji hingga larut malam, sedang kita untuk sholat saja terasa berat. Bersangka baiklah kepada mereka, meski terkadang tingkah mereka menurut anda kurang baik. Pokoknya, cintailah orang yang mengaji, cintailah majelis-majelis ‘ilmu.

Sampai disini saya ingin menawarkan perspektif. Tadi saya bilang itu kalau memakai cara berpikir yang linear. Saya mencoba memakai cara berpikir yang tidak linear. Jadi kalau tadi kan tahap-tahapnya : penggembira -> ikut ngaji kuping -> nyantri -> jadi orang ‘alim. Nah, dalam cara berpikir yang saya maksud, sang orang ‘alim akan kembali menuju posisi sang penggembira/pecinta. Hanya konteksnya lebih mendalam dan meluas.

Logikanya begini, semakin ‘alim seseorang, maka ia akan semakin merasa tidak tahu, sehingga ia justru semakin ingin untuk belajar. Semakin ‘alim atau mengerti, maka orang itu akan semakin berguru pada banyak orang. Ia menjadi santri lagi, ia muta’allim lagi. Selanjutnya, semakin mendalam dan meluas ilmu seseorang, maka ia semakin mau mendengarkan pihak lain. Ia semakin menghargai orang lain. Ia pun menjadi mustami’an lagi. Nah, pada akhirnya, kemudian setelah muta’alliman lagi, mustami’an lagi, ia akan menjadi seorang muhibban, sang pecinta. Ia akan menjadi seorang pecinta sejati. Ia mencintai, menampung semua pihak, sebagaimana cinta para nabi dan rasul terhadap ummatnya.

Kalau mau digambar, saya membayangkan strukturnya berbentuk lingkaran. Jadi titik asal kembali menjadi tujuan. Seseorang tidak akan pernah sampai titik akhir dimana ia merasa selesai. Ia akan terus mengembara dalam struktur ini. Ia tidak akan membiarkan hatinya merasa puas ; wah saya sudah jadi orang ‘alim nih. Dan menjadi relevanlah peribahasa ; padi semakin berisi semakin menunduk, semakin mendekat ke bumi.

Syaikh Muhammad Ainun Nadjib, pernah menawarkan wacana cara berpikir. Menurut beliau, ada cara berpikir linear, zig-zag, spiral, dan siklikal. Saya sendiri belum paham betul apa yang dimaksud zig-zag dan spiral. Saya hanya paling jauh memberanikan diri menduga kira-kira yang saya tuliskan di atas tadi mungkin itu termasuk cara berpikir siklikal. Wallohu a’lam.

1 komentar: