saddam

Ummul Kitab Adalah Ibu dari segala aktifitas kita, jadikanlah ummul kitab sebagai permulaan semua aktivitas kita, supaya aktifitasmu terarah oleh-Nya

Rabu, 20 Juli 2011

ATLANTIS itu Ternyata INDONESIA



Memecahkan Rahasia “Benua yang Hilang"
Atlantis, Benua yang Hilang Akhirnya Ditemukan (Atlantis the Lost Continents Finally Found), demikian judul buku karya Prof Arysio Nunes dos Santos yang dirilis pada bulan Agustus 2005. Dalam buku ini ia menjelaskan Teori tentang Atlantis dengan menggunakan argumen yang sangat luas dan kuat, dari yang bersifat ilmiah ketat, seperti Geologi, Linguistik, dan Antropologi, hingga yang lebih misterius dan gaib (Okultisme, Simbolisme, Mitologi, dll.)

Dos Santos adalah seorang ilmuwan profesional dengan gelar PhD dalam fisika nuklir dan dosen lepas Kimia-Fisik. Penulis ini telah mendedikasikan dirinya dengan sangat intensif untuk mempelajari masalah Atlantis paling tidak selama 30 tahun terakhir hingga kini. Dialah orang pertama yang menghubungkan peristiwa bencana Zaman Es terakhir (11.600 tahun lalu) dengan bencana air bah yang melanda seluruh dunia serta kehancuran Atlantis. Prof Santos berhasil menemukan situs yang sangat memenuhi syarat sebagai lokasi Benua yang Hilang. Ini merupakan temuan situs yang tak tertandingi sebagai situs yang paling logis yang pernah diusulkan, dan yang paling cocok dengan semua fitur yang disebutkan oleh filsuf Yunani Plato, dan juga yang telah disebutkan melalui sumber-sumber yang lain.

Pembaca akan dihadapkan dengan suatu fakta kenyataan berdasar bukti-bukti yang sangat kuat mengenai segala macam hal yang berkaitan dengan keberadaan Atlantis. Dan karena ditulis oleh seorang ilmuwan terkenal yang kompeten, maka cukup untuk mengguncang keyakinan bagi siapa saja, bahkan bagi orang yang paling skeptis sekalipun.


Di mana ditemukannya Atlantis?

Secara tegas dinyatakan oleh Prof Santos melalui bukunya tersebut bahwa, lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11600 tahun yang lalu itu adalah Indonesia.

Selama ini, benua yang diceritakan Plato 2500 tahun yang lalu itu adalah benua yang dihuni oleh bangsa Atlantis yang memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan alamnya yang sangat kaya, yang kemudian hilang tenggelam ke dasar laut oleh bencana banjir dan gempa bumi sebagai hukuman dari para Dewa. Kisah Atlantis ini dibahas dari masa ke masa, dan upaya penelusuran pun terus dilakukan guna menemukan sisa-sisa peradaban tinggi yang telah dicapai oleh bangsa Atlantis itu.

Pencarian dilakukan di samudera Atlantik, Laut Tengah, Karibia, sampai ke Kutub Utara. Pencarian ini sama sekali tidak ada hasilnya, sehingga sebagian orang beranggapan bahwa yang diceritakan Plato itu hanyalah khayalan dari negeri dongeng semata.

Profesor Santos yang juga ahli Fisika Nuklir ini menyatakan bahwa Atlantis tidak pernah ditemukan karena dicari di tempat yang salah.


Lokasi yang benar secara meyakinkan berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan Santos, adalah Indonesia. Profesor Santos mengatakan bahwa dia sudah meneliti kemungkinan lokasi Atlantis selama hampir 30 tahun terakhir.

Ilmu yang digunakan Santos dalam menelusur lokasi Atlantis ini adalah ilmu Geologi, Astronomi, Paleontologi, Archeologi, Linguistik, Ethnologi, dan Komparative Mitologi. Bagi yang ingin mengetahui kualifikasi Santos secara lengkap dapat dilihat di alamat ini: http://atlan.org/author/resume.htm

Buku Santos ini yang diantaranya dipasarkan lewat ‘Amazon.com’ ternyata laris manis. Bahkan konon bukunya ini terlink ke lebih dari 400 buah situs di internet, dan website-nya sendiri menurut Santos hingga kini telah dikunjungi paling kurang sebanyak dua setengah juta pengunjung.

Bila pemerintah RI cukup tanggap dan peka, sebenarnya ini merupakan iklan gratis alias promosi untuk mengenalkan Indonesia secara efektif ke seantero jagat dengan tidak memerlukan dana kampanye serupiah pun.

Sebagaimana dapat diikuti dari website-nya, Plato menulis tentang Atlantis pada masa dimana Yunani masih menjadi pusat kebudayaan Dunia Barat (Western World). Sampai saat ini belum dapat diketahui secara pasti, apakah sang ahli filsafat ini hanya menceritakan sebuah mitos, moral fabel, science fiction, ataukah sebuah kisah sejarah yang sebenarnya. Ataukah pula dia menjelaskan sebuah fakta secara jujur bahwa Atlantis adalah sebuah realitas absolut?


Plato bercerita bahwa Atlantis adalah sebuah negara makmur dengan emas, batuan mulia, dan merupakan ‘mother of all civilazation’ dengan kerajaan berukuran benua yang menguasai pelayaran, perdagangan, ilmu metalurgi, memiliki jaringan irigasi dan transportasi yang baik, serta kehidupan berkesenian, tarian, teater, musik, dan olahraga yang sangat semarak.

Warga Atlantis yang semula merupakan orang-orang terhormat dan kaya, kemudian berubah menjadi ambisius, egois dan hedonis. Para Dewa kemudian menghukum mereka dengan mendatangkan banjir, letusan gunung berapi, dan gempa bumi yang demikian dahsyatnya sehingga menenggelamkan seluruh benua itu hingga ke dasar lautan.

Kisah-kisah sejenis atau mirip kisah Atlantis ini yang berakhir dengan bencana banjir dan gempa bumi, ternyata juga ditemui dalam kisah-kisah sakral tradisional di berbagai bagian dunia, yang umumnya diceritakan dalam bahasa lokal (setempat).


Menurut Santos, ukuran waktu yang diberikan Plato 11600 tahun BP (Before Present), secara tepat bersamaan dengan berakhirnya Zaman Es atau Zaman Pleistocene, yang juga menimbulkan bencana banjir dan gempa yang sangat hebat. Bencana ini menyebabkan punahnya 70% dari spesies mamalia yang hidup saat itu, termasuk kemungkinan juga dua spesies manusia, Neandertal dan Cro-Magnon.

Sebelum terjadinya bencana banjir menyeluruh itu, pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Nusa Tenggara masih menyatu dengan semenanjung Malaysia dan benua Asia.

Posisi Indonesia terletak pada 3 lempeng tektonis yang saling menekan, yang menimbulkan sederetan gunung berapi mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan terus ke Utara sampai ke Filipina yang merupakan bagian dari jalur api ‘Ring of Fire’.

Gunung utama yang disebutkan oleh Santos, yang memegang peranan penting dalam bencana ini adalah gunung Krakatau dan ‘sebuah gunung lain’ (kemungkinan gunung Toba). Sedangkan gunung lain yang disebut-sebut dalam kaitannya dengan kisah-kisah mitologi adalah gunung Semeru, gunung Agung, dan gunung Rinjani.

Bencana alam beruntun ini menurut Santos dimulai dengan ledakan dahsyat gunung Krakatau, yang memusnahkan seluruh gunung itu sendiri, dan membentuk sebuah kaldera besar yang sekarang menjadi selat Sunda yang memisahkan antara pulau Sumatera dan Jawa.

Letusan ini menimbulkan tsunami dengan gelombang laut yang sangat tinggi, yang kemudian menutupi dataran-dataran rendah di antara Sumatera dengan Semenanjung Malaysia, di antara Jawa dan Kalimantan, dan antara Sumatera dan Kalimantan.


Abu hasil letusan gunung Krakatau yang berupa ‘fly-ash’ naik tinggi ke udara dan ditiup angin ke seluruh bagian dunia yang pada masa itu sebagian besar masih ditutup es (Zaman Es Pleistocene) . Abu ini kemudian turun dan menutupi lapisan es. Akibat adanya lapisan abu, es kemudian mencair sebagai akibat panas matahari yang diserap oleh lapisan abu tersebut.

Gletser di kutub Utara dan Eropa kemudian meleleh dan mengalir ke seluruh bagian bumi yang rendah, termasuk Indonesia. Banjir akibat tsunami dan lelehan es inilah yang menyebabkan air laut naik sekitar 130 meter di atas dataran rendah Indonesia. Dataran rendah di Indonesia tenggelam di bawah permukaan laut, dan yang tinggal adalah dataran tinggi dan puncak-puncak gunung berapi.

Tekanan air yang besar ini menimbulkan tarikan dan tekanan yang hebat pada lempeng-lempeng benua, yang selanjutnya menimbulkan letusan-letusan gunung berapi secara beruntun, dan disusul dengan gempa bumi yang dahsyat. Akibatnya adalah berakhirnya Zaman Es Pleistocene secara dramatis.


Dalam bukunya, Plato menyebutkan bahwa Atlantis adalah negara makmur yang bermandi matahari sepanjang waktu. Padahal zaman pada waktu itu adalah Zaman Es, dimana temperatur bumi secara menyeluruh adalah kira-kira 15 derajat Celcius lebih dingin dibanding saat ini. Lokasi yang bermandi sinar matahari pada waktu itu hanyalah Indonesia yang memang terletak di garis khatulistiwa.

Plato juga menyebutkan bahwa luas benua Atlantis yang hilang itu “….lebih besar dari Lybia (Afrika Utara) dan Asia Kecil digabung jadi satu…” Luas ini persis sama dengan luas kawasan Indonesia ditambah dengan luas Laut China Selatan.

Menurut Profesor Santos, para ahli yang umumnya berasal dari Barat, berkeyakinan teguh bahwa peradaban manusia berasal dari dunia mereka. Tapi realitas menunjukkan bahwa Atlantis berada di bawah perairan Indonesia dan bukan di tempat lain.

Santos telah menduga hal ini lebih dari 20 tahun yang lalu sewaktu dia mencermati tradisi-tradisi suci dari Yunani, Roma, Mesir, Mesopotamia, Phoenicia, Indian-Amerika, Hindu, Budha, dan Judeo-Christian. Walaupun dikisahkan dalam bahasa mereka masing-masing, ternyata istilah-istilah yang digunakan banyak yang merujuk ke hal atau kejadian yang sama.

Santos menyimpulkan bahwa penduduk Atlantis terdiri dari beberapa suku/etnis, dimana 2 buah suku terbesar adalah Arya dan Dravida. Semua suku bangsa ini sebelumya berasal dari Afrika 3 juta tahun yang lalu, yang kemudian menyebar ke seluruh Eropa, Asia dan ke Timur sampai ke Australia lebih kurang 1 juta tahun yang lalu. Di Indonesia mereka menemukan kondisi alam yang ideal untuk berkembang, yang menumbuhkan pengetahuan tentang pertanian serta peradaban secara menyeluruh. Ini terjadi pada zaman Pleistocene.


Pada Zaman Es itu, Atlantis adalah surga tropis dengan padang-padang yang indah, gunung, batu-batu mulia, berbagai jenis metal, parfum, sungai, danau, saluran irigasi, pertanian yang sangat produktif, istana emas dengan dinding-dinding perak, gajah, dan bermacam hewan liar lainnya.
Jadi menurut Prof Santos, hanya Indonesia-lah yang sekaya ini.

Ketika bencana yang diceritakan di atas terjadi, dimana air laut naik setinggi kira-kira 130 meter, penduduk Atlantis yang selamat terpaksa keluar dan pindah ke India, Asia Tenggara, China, Polynesia, serta Amerika melalui selat Bering.

Suku Arya yang bermigrasi ke India mula-mula pindah dan menetap di lembah Indus. Karena glatsier Himalaya juga mencair dan menimbulkan banjir di lembah Indus, mereka akhirnya bermigrasi lebih lanjut ke Mesir, Mesopotamia, Palestina, Afrika Utara, dan Asia Utara. Di tempat-tempat baru ini mereka kemudian berupaya mengembangkan kembali budaya Atlantis yang merupakan akar budaya mereka.


Catatan terbaik dari tenggelamnya benua Atlantis ini dicatat di India melalui tradisi-tradisi suci di daerah seperti Lanka, Kumari Kandan, Tripura, dan lain-lain. Mereka adalah pewaris dari budaya yang tenggelam tersebut. Sedang suku Dravida yang berkulit lebih gelap tetap tinggal di Indonesia .

Migrasi besar-besaran ini dapat menjelaskan timbulnya secara tiba-tiba atau seketika teknologi maju seperti pertanian, pengolahan batu mulia, metalurgi, agama, dan diatas semuanya adalah bahasa dan abjad di seluruh dunia selama masa yang disebut Neolithic Revolution. Bahasa-bahasa di seluruh dunia dapat ditelusur berasal dari Sanskerta dan Dravida. Karenanya bahasa-bahasa di dunia sangat maju dipandang dari gramatika dan semantik.

Contohnya adalah abjad. Semua abjad menunjukkan adanya “sidik jari” dari India yang pada masa itu merupakan bagian yang integral dari Indonesia. Dari Indonesialah lahir bibit-bibit peradaban yang kemudian berkembang menjadi budaya lembah Indus, Mesir, Mesopotamia, Hatti, Yunani, Minoan, Crete, Roma, Inka, Maya, Aztek, dan lain-lain.

Budaya-budaya ini mengenal mitos yang sangat mirip. Nama Atlantis diberbagai suku bangsa disebut sebagai Tala, Attala, Patala, Talatala, Thule, Tollan, Aztlan, Tluloc, dan lain-lain.

Itulah ringkasan teori Profesor Santos yang ingin membuktikan bahwa benua Atlantis yang hilang itu sebenarnya berada di Indonesia.

Bukti-bukti yang menguatkan Indonesia sebagai Atlantis, dibandingkan dengan lokasi alternatif lainnya disimpulkan Profesor Santos dalam suatu matriks yang disebutnya sebagai ‘Checklist’ (Silakan lihat di sini: http://atlan.org/articles/checklist/#checklist).


Terlepas dari benar atau tidaknya teori ini, atau dapat dibuktikannya atau tidak kelak keberadaan Atlantis di bawah laut Indonesia, teori Profesor Santos ini hingga sekarang ternyata mampu menarik perhatian orang-orang luar ke Indonesia.

Teori ini juga disusun dengan argumentasi atau hujjah yang cukup jelas dan kuat. Kalau ada yang beranggapan bahwa kualitas bangsa Indonesia sekarang sama sekali “tidak meyakinkan” untuk dapat dikatakan sebagai nenek moyang dari bangsa-bangsa maju yang diturunkannya itu, maka ini adalah suatu proses maju atau mundurnya peradaban yang memakan waktu lebih dari sepuluh ribu tahun.

Contoh kecilnya, adalah perbandingan tentang orang Malaysia dan Indonesia; dimana 30-an tahun yang lalu mereka masih belajar dari kita, tapi sekarang mereka relatif sudah berada beberapa langkah di depan kita.


Allah SWT juga berfirman bahwa nasib manusia ini memang Dia pergilirkan. Yang hidup mulia (berkuasa) pada suatu saat akan menjadi hina (tertindas), dan sebaliknya. “… dan Kami mempergilirkan sejarah yang berlaku di antara manusia ….” (Surat Ali ‘Imran: 140) “Maka setelah datang keputusan Kami, Kami jadikan yang di atas menjadi yang di bawah ….” (Surat Hud: 82). Inilah “Cakra Manggilingan”, atau Roda Kehidupan yang senantiasa berputar.

Profesor Santos masih akan terus melakukan penelitian lapangan lebih lanjut guna lebih banyak lagi mendapatkan bukti atas teorinya. Kemajuan teknologi masa kini seperti satelit yang mampu memetakan dasar lautan, kapal selam mini untuk penelitian (sebagaimana yang digunakan untuk menemukan kapal ‘Titanic’), dan beragam peralatan canggih lainnya diharapkannya akan membantu mencari bukti-bukti pendukung yang kini diduga masih tersembunyi di dasar laut Indonesia.

Apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan bangsa Indonesia? Bagaimana pula para pakar dan ilmuwan Indonesia dari pelbagai disiplin ilmu menanggapi teori yang sebenarnya “mengangkat” Indonesia ke posisi yang sangat terhormat ini? Yakni Indonesia sebagai asal usul peradaban bangsa-bangsa seluruh dunia?

Dan beranikah kita mulai saat ini berpromosi ke seluruh dunia dengan slogan:
Indonesia, Truly Atlantis!
atau
Indonesia, Mother of All Civilazation!

sumber :adibsusilasiraj

Jumat, 08 Juli 2011

Nahdlotul Muhammadiyah

Pada forum Kenduri Cinta di jakarta dan Mocopat Syafaat di jogja syaikh Muhammad Ainun Nadjib menyampaikan rencana akan didirikannya organisasi resmi yang bernama Nahdlotul Muhammadiyah. Kata beliau, motif didirikannya organisasi ini tidak untuk merongrong NU atau merongrong Muhammadiyah. Justru organisasi ini ingin mengisi celah-celah yang masih belum terakomodasi secara memadai baik oleh NU maupun Muhammadiyah. Contohnya, masalah macet di pelabuhan merak itu sebenarnya masalah apa, mungkinkah “direkayasa”, terus, menempatkan fatwa haram merokok yang dikeluarkan oleh MUI itu secara proporsional gimana, terus, masalah NII itu sebenernya gimana, dll. Jadi, mungkin mirip tim investigasi lah, yang bisa jadi akan memproduk semacam press-release sehingga ummat tidak terlalu menjadi bingung dalam atmosfer kehidupan dimana beredar isu-isu tersebut.

Kalau saya, memandang rencana berdirinya organisasi ini, dengan nama yang demikian, adalah relevan. Minimal secara psikologis, filosofis, dan kosmologis.Secara psikologis, telah nyata bahwa sekarang orang dalam bermasyarakat tidak sefanatik dan se-ekstrim dulu. Polarisasi-polarisasi dalam kehidupan sosial, terutama dalam konteks praktek-praktek keagamaan, tidak terasa se”panas” dulu. Ya kalaupun belakangan muncul bermacam-macam aliran yang dikategorikan oleh pemegang otoritas sebagai aliran sesat, saya kira aliran-aliran ini hanya sebagian kecil saja. Artinya tidak cukup representatif dijadikan gambaran umum perilaku masyarakat.


Maksud saya, sang adik boleh saja lebaran duluan karena ikut Muhammadiyah dan sang kakak/ibu baru lebaran besok karena ikut NU. Jadi satu atap bisa terjadi 2 kali lebaran idul fitri dan fine-fine saja. Agaknya masyarakat kita, sejauh yang saya tahu, telah dewasa menyikapi perbedaan-perbedaan ini. Contoh lagi, pas penyelenggaraan sholat tarawih. Mungkin sekarang ada(atau jangan-jangan banyak), orang yang kalau sedang rajin ya ikut sholat tarawih yang 20 roka’at tapi kadang-kadang males atau karena suatu hal, maka memilih sholat tarawih 8 roka’at saja. Bahkan sekarang kita sudah terbiasa melihat dalam satu masjid terjadi dua jenis sholat tarawih, dan fine fine saja.


Yang membuat saya terharu, seorang teman saya yang katanya Muhammadiyah, ketika sholat subuh berdua dengan saya dan ia yang menjadi imam, ia membaca do’a qunut, mungkin karena tahu saya penganut qunut mania. Jelas, sholat subuh waktu itu menjadi lebih berkesan bagi saya, meskipun sholatnya “hanya”di mushola sebuah POM bensin di Brebes. Seketika itu saya berdo’a dalam hati : ya Allah, jadikanlah temanku ini menjadi ketua Muhammadiyah, atau pokoknya pemimpin deh, sehingga semakin banyak tercipta keindahan-keindahan semacam ini dalam hidup. amin ya Allah.


Betapa sekarang orang tidak begitu peduli apakah kamu Muhammadiyah atau NU, malah semakin sadar bahwa sudah saatnya tidak ribut itu, tapi gimana caranya orang-orang islam tetep pada sholat, puasa, zakat,tidak terlalu terseret arus budaya yang tidak islami, bla,bla,bla... indah ya


Kalau secara filosofis, terutama bahasa, saya kira sangat bagus. Sejauh yang saya pernah dengar, kata Nahdloh itu artinya “kebangkitan”, kalau kata Muhammadiyah itu ya berarti para pengikut kanjeng nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam. Jadi, kira-kira Nahdlotul Muhammadiyah akan bisa diartikan : kebangkitan orang-orang pengikut nabi Muhammad, atau, Islamic Revival, kan keren tuh. Dan akan cocok dengan ramalan-ramalan yang beredar,hehe.. apalagi yang meramal bukan peramal/tukang ramal, melainkan orang-orang jenius yang pasti mendapat ilham dari Allah Subhanahu wata’ala.


Secara kosmologis, nyambung juga. Mohon maaf sebenarnya saya juga tidak terlalu paham apa itu kosmologis, maksudnya gimana, dan saya memakai istilah itu biar keren aja,hehe.. sok-sok milsafat lah. Tapi maksud saya intinya begini, secara kronologis atau time-series, sepertinya sudah saatnya berdiri Nahdlotul Muhammadiyah. Kenapa?? Karena sudah sekitar 80an tahun yang lalu (kalau gak salah) telah berdiri Nahdlotul Ulama. Jadi, sudah sejak 80an tahun yang lalu ulama-ulama di Indonesia memutuskan untuk bangkit. Kalau masalah motifnya apa kok sampai mendirikan NU tidak akan saya bahas disini. Pokoknya, kebangkitan ulama-ulama seindonesia, kira-kira filosofi dari nama NU kan begitu ya.


Nah, sekarang giliran ummatnya dong ikutan bangkit...masak cuma ulamanya tok yang bangkit, ummatnya juga harus bangkit dong...hehe...gimana udah nangkep kan maksud saya?


Semoga Nahdhotul Muhammadiyah bukan hanya gabungan dari NU dan Muhammadiyah akan tetapi persatuan ruhaniyah dalam jiwa dan pikiran, demi kemajuan bangsa Indonesia yang sekarang sedang berlatih menghindari jregalan-jregalan nafsu dan keegoisan yang mengurat nadi dalam otak-otak birokrat Indonesia

Sumber : Kenduri Cinta

Rabu, 06 Juli 2011

Dimaafkan, Memaafkan, dan Tidak Memaafkan


Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib

Dimaafkan adalah kelegaan memperoleh rizqi, tapi Memaafkan adalah perjuangan yang sering tidak ringan dan membuat kita penasaran kepada diri sendiri. Tidak Memaafkan adalah suatu situasi psikologis dimana hati kita menggumpal, alias menjadi gumpalan, atau terdapat gumpalan di wilayah ruhani-Nya. Gumpalan itu benda padat, sedangkan gumpalan daging yang kita sebut dengan hati diantara dada dan perut itu bukanlah hati, melainkan indikator fisik dari suatu pengertian ruhani tentang gaib. Jika hati hanyalan gumpalan daging; ia tak bisa dimuati oleh iman atau cinta. Maka gumpalan daging itu sekedar tanda syari’at hati, sedangkan hakikatnya adalah watak ruhani.

Didalam kehidupan manusia, yang biasanya berupa gumpalan dalam hati, misalnya, adalah watak dendam. Dendam bersumber dari mitos tentang harga diri dan kelemahan jiwa. Manusia terlalu ‘GR’ atas dirinya sendiri, dan tidak begitu percaya bahwa ia ‘faqir indallah’: ’musnah dan menguap’ dihadapan Allah.

Kemudian cemburu. Ini watak yang juga mejadi ‘suku cadang’ hakikat cinta dan keindahan. Namun syari’atnya ia harus diletakkan pada konteks yang tepat. Hanya karena punya sepeda, saya tidak lantas jengkel dan cemburu kepada setiap orang yang memiliki mobil. Sambil makan di warung pinggir jalan tak usah kita hardik mereka yang duduk di kursi mengkilap sebuah restoran.

Sangat setuju Cak Nun, seharusnya hati kita selalu bertapa dihadapan Allah Swt. Entah kita mau di puji, dijelek2kan maupun dimusuhi, sesungguhnya hati diciptakan lebih banyak mencintainya daripada membenci..., jadi kalau mendapatkan pujian itulah Allah yang memang patut di puji, dan apabila ada kesalahan dan kekhilafan itulah perbuatan manusia sebagai makhluk-Nya di bumi ini, maka dari itu, sudah semestinya manusia diberikan akal oleh Allah supaya didaya gunakan dalam kehidupannya untuk kepentingan kemaslahatan ummat, bukan untuk pertikaian, permusuhan, maupun kebencian.

Sumber : KC

KUN 'ALIMAN


Kun ‘aliman, au muta’alliman, au mustami’an, au muhibban. Walam takun khomisan, fatahlik. Begitu instruksi Rasulullah. Kalau diterjemahkan secara bebas, kira-kira begini : “dadio wong ‘alim, nek ora yo wong nyantri, nek ora yo ngaji kuping, nek ora yo wong sing seneng karo pengajian”. Ojo dadi sing nomer lima, mengko cilaka. Yang nomer lima itu
gimana? Ya yang tidak termasuk salah satu dari empat yang telah disebut.

Ini kan cermin ya, kita bisa mengukur diri kita masing-masing kira-kira posisi kita dimana. Kalau memakai cara berpikir linear, berarti yang paling tinggi itu jadi orang ‘alim. Orang ‘alim itu siapa? Orang ‘alim adalah orang yang dianugerahi Allah ‘ilmu. ‘ilmu itu apa? ‘ilmu itu cahaya. Lho kok cahaya? Iya, karena ‘ilmu menerangi yang gelap, menjelaskan yang tidak jelas.

Kalau tidak sanggup jadi yang tertinggi, ya nyantri. Belajar sama orang yang sudah ‘alim. Apa-apa yang beliau ajarkan, dicatet. Kalau bisa ngabsahi kitab di pondok pesantren. Kalau ndak sanggup, ya ngaji kuping. Nah perbedaan utama antara santri dan orang yang ngaji kuping, adalah di dokumentasi. Santri mendokumentasikan hasil ngajinya, sedang pengaji kuping hanya mendengar. Ia hanya mengandalkan kemampuan otak untuk mengingat-ingat apa yang diajarkan sang ‘alim. Kalau masih ndak sanggup, yasudah yang penting jangan membenci pengajian, jangan membenci orang mengaji. Cintailah, ikut bersuka-rialah ketika melihat atau mendengar ada pengajian akan digelar. Ikut bergembiralah kalau melihat orang berbondong-bondong berangkat mengaji. Cintailah mereka, meskipun mereka bikin macet jalanan. Kagumilah mereka, yang berangkat mengaji hingga larut malam, sedang kita untuk sholat saja terasa berat. Bersangka baiklah kepada mereka, meski terkadang tingkah mereka menurut anda kurang baik. Pokoknya, cintailah orang yang mengaji, cintailah majelis-majelis ‘ilmu.

Sampai disini saya ingin menawarkan perspektif. Tadi saya bilang itu kalau memakai cara berpikir yang linear. Saya mencoba memakai cara berpikir yang tidak linear. Jadi kalau tadi kan tahap-tahapnya : penggembira -> ikut ngaji kuping -> nyantri -> jadi orang ‘alim. Nah, dalam cara berpikir yang saya maksud, sang orang ‘alim akan kembali menuju posisi sang penggembira/pecinta. Hanya konteksnya lebih mendalam dan meluas.

Logikanya begini, semakin ‘alim seseorang, maka ia akan semakin merasa tidak tahu, sehingga ia justru semakin ingin untuk belajar. Semakin ‘alim atau mengerti, maka orang itu akan semakin berguru pada banyak orang. Ia menjadi santri lagi, ia muta’allim lagi. Selanjutnya, semakin mendalam dan meluas ilmu seseorang, maka ia semakin mau mendengarkan pihak lain. Ia semakin menghargai orang lain. Ia pun menjadi mustami’an lagi. Nah, pada akhirnya, kemudian setelah muta’alliman lagi, mustami’an lagi, ia akan menjadi seorang muhibban, sang pecinta. Ia akan menjadi seorang pecinta sejati. Ia mencintai, menampung semua pihak, sebagaimana cinta para nabi dan rasul terhadap ummatnya.

Kalau mau digambar, saya membayangkan strukturnya berbentuk lingkaran. Jadi titik asal kembali menjadi tujuan. Seseorang tidak akan pernah sampai titik akhir dimana ia merasa selesai. Ia akan terus mengembara dalam struktur ini. Ia tidak akan membiarkan hatinya merasa puas ; wah saya sudah jadi orang ‘alim nih. Dan menjadi relevanlah peribahasa ; padi semakin berisi semakin menunduk, semakin mendekat ke bumi.

Syaikh Muhammad Ainun Nadjib, pernah menawarkan wacana cara berpikir. Menurut beliau, ada cara berpikir linear, zig-zag, spiral, dan siklikal. Saya sendiri belum paham betul apa yang dimaksud zig-zag dan spiral. Saya hanya paling jauh memberanikan diri menduga kira-kira yang saya tuliskan di atas tadi mungkin itu termasuk cara berpikir siklikal. Wallohu a’lam.

Sabtu, 02 Juli 2011

IJTIHAD, ITTIBA’, ATAU TAQLID ?


Orang Indonesia sering mengucapkan kata Bid’ah, Thogut dan lain sebagainya, sekarang yang perlu kita tanyakan pada diri kita sendiri, sudah pahamkah kita mengenai Bid’ah Thogut, dst itu??? Mari belajar bersama-sama supaya kita tidak menyebarkan fitnah-fitnah yang menurut kita sebuah kebenaran. Kali ini akan bahas Ijtihad, Ittiba’, dan Taqlid yang bisa dibandingkan juga dengan Bid’ah.

Orang hidup itu ada dua jalan. Jalan pertama dia mencoba sendiri, menjalani sendiri, memutuskan sendiri, dan menanggung akibatnya sendiri. Jalan ini disebut ijtihad, subjeknya disebut mujtahid (freeman). Kata ini berakar dari kata jihad. Jalan kedua adalah mengikuti orang lain yang kita jadikan panutan. Rasyid Ridha membagi jalan kedua ini menjadi dua bagian, yaitu ittiba’ dan taqlid. Ittiba’ (pelakunya disebut muttabi’) berarti mengikuti sesuatu dengan terlebih dahulu memahami apa yang diikutinya.Taqlid (subjeknya disebut muqallid) adalah mengikuti tanpa memahami apa yang diikutinya itu.

Yang menjadi garis Muhammadiyah adalah Jangan menjadi muqallid.
Dan tentang ijtihad-ittiba’-taqlid, ini bukan hanya tentang urusan shalat tetapi juga tentang urusan negara. Pasal-pasal hukum Indonesia, reformasi, demokrasi, semuanya adalah bentuk taqlid. Maka kita adalah bangsa muqaliddin. Kita sering terbalik dan tertukar-tukar. Di wilayah yang seharusnya merdeka (seperti musik dan kesenian lain) kita justru bersikap taqlid, dan begitu pula sebaliknya.
Negara federal pertama di Nusantara adalah Demak Bintoro. Pada waktu itu terjadi transformasi yang dikawal Sunan Kalijaga dari Majapahit pedalaman menjadi negara federasi dengan tanah-tanah perdikan.

Di dalam Islam ada empat dimensi pemimpin, yaitu :

1. Ra’is (berasal dari kata ra’sun yang berarti kepala) adalah pemimpin yang berada di jajaran paling atas dari suatu struktur.
2. Imam (berasal dari kata ummun : Ibu) adalah bahwa pemimpin adalah dia yang mempunyai daya kasih sayang.
3. Amir (berasal dari kata amr : perintah), pemimpin punya legitimasi untuk memerintah
4. Qa’idh (berasal dari kata qudwah : teladan), pemimpin adalah yang mampu memberikan keteladanan

Dari khasanah Jawa kita mendapatkan tiga dimensi kepemimpinan :

1. Ing ngarsa sung tuladha (memberikan teladan di depan yang dipimpin)
2. Ing madya mangun karsa (to be just someone among others)
3. Tut wuri handayani (di belakang orang-orang yang dipimpinnya, menggembala, angon)
Kita bisa belajar dari Jawa, Bugis, Mandar, dan dari mana saja untuk berijtihad, untuk menciptakan Indonesia yang tidak beta lagi, untuk merilis Indonesia yang sesungguhnya.

Jadi, kesimpulannya, bid’ah itu adalah hal yang baru yang tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah dalam bidang ibadah Mahdhoh (Syahadat,Sholat, Puasa, Zakat, dan Haji) selain itu ya ijtihad manusia sebagai makhluk Tuhan yang diciptakan dengan akal pikiran dari hubungan vertikal horisontal (Facebook, komputer, pesawat, kereta,dan masih banyak yang lainnya...) dan sekali lagi yang tidak berkaitan dengan ibadah Mahdhoh adalah ijtihad manusia.